Karakteristik dan Kualitas Tafsir Tabi'in
TUGAS MAKALAH
MAZAHIBUT TAFSIR
KUALITAS DAN
KARAKTERISTIK TAFSIR TABI’IN
OLEH KELOMPOK X:
ARLAN
30300113056
PRODI ILMU AL-QUR’AN
DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDIN,
FILSAFAT, DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tidak
diragukan lagi bahwa sejarah tafsir al-Qur’an berlangsung melalui berbagai
tahap dan kurun waktu yang panjang sehingga mencapai bentuknya yang kita
saksikan sekarang ini berupa tulisan berjilid-jilid banyaknya, baik yang
tercetak maupun yang masih berupa tulisan tangan[1].
Tafsir al-Qur’an telah tumbuh di masa Nabi saw. sendiri[2]
karena sejak diturunkan al-Qur’an Rasulullah saw. berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan
kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau
samar artinya[3]. Keadaan ini berlangsung
sampai dengan wafatnya Rasulullah saw.
Kalau
pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak
jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, para sahahat yang alim atau yang
mempunyai kemampuan untuk berijtihad atau yang mengetahui rahasia-rahasia
al-Qur’an seperti Khalifah yang empat, Ibnu “Abbas bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud,
Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ary, dan Absullah ibn Zubai.
Para khalifah yang banyak diterima tafsirnya dan disampaikan kepada masyarakat,
ialah ‘Ali bin Abi Thalib. Sedikit sekali diterima khalifah yang lain. Hal itu
mungkin karena beliau-beliau itu wafat lebih dahulu[4].
Di
samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas
mempunyai murid-murid dari para tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka
tinggal. Maka berkembanglah yang namanya thabaqah ulama mufassirin.
Thabaqah-thabaqah tersebut antara lain, Pertama, thabaqat ulama Mekkah,
thabaqat ini adalah ulama-ulama yang lebih mengetahui tentang ilmu tafsir[5].
Di antara mereka adalah said ibn Jubair, Mujahid bin Jabr[6],
Atha’ ibn Rabah, Ikrimah Maula ibn Abbas, dan Thaus, yang ketika itu berguru
kepada Ibnu ‘Abbas.
Kedua,
thabaqat ulama Madinah. Di antara ulama madinah yang terpandang ialah Zaid ibn
Aslam, Muhammad bin Ka’ab, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab. Dan
ketiga adalah thabaqat ulama Iraq, di antaranya adalah Masruq ibn al-Ajda’, Abu
Said al-Hasan al-Bisri, Amir al-Sya’bi, yang ketika itu berguru kapada
‘Abdullah bin Mas’ud.
Penafsiran
di masa Tabi’in tidak jauh berbeda dengan dengan penafsiran yang telah
dilakukan oleh genarasi sebelumnya, yakni generasi Sahabat, haya saja ada ciri
khusus yang membedakan penafsiran genarasi Sahabat, juga dalam hal kualitas
penafsiran menjadi pembahasan dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi
rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
- Bagaimana karakteristik tafsir Tabi’in?
- Bagaimana kualitas tafsir Tabi’in?
- Bagaimana menyikapi tafsir Tabi’in?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi
tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
- Untuk mengetahui karakteristik tafsir Tabi’in.
- Untuk mengetahui kuaalitas tafsir Tabi’in.
- Untuk mengetahui sikap terhadap tafsir Tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik Tafsir
Tabi’in
Dengan berakhirnya masa
sahabat, urusan tafsir berpindah ke tangan tabi’in. selanjutnya, dengan
meluasnya wilayah kekuasaan Islam, kebutuhan umat terhadap ilmu tafsir pun
meningkat. Seirin g dengan
bermunculannya fatwa dan berbagai pendapat, dimulailah pembukuan tafsir. Dan
orang-orang yang pertama kali membukukan tafsir adalah Abu al-Aliyah Rafi’ bin
Mihram ar-Rahayi (w. 90 H), Mujahid bin Jabr (w. 101 H), Atha’ bin Abi Rabah
(w. 114 H), dan Muhmmad bin Ka’ab al-Qurthi (w. 117 H). Akan tetapi, buku
tafsir yang pertama kali muncul di khalayak ramai adalah buku tafsir yang
disandarkan kepada Sa’id bin Juhair bin Hisyam al-Kufi al-Asdi (w. 95 H)[7].
Dalam hal ini, para
tabi’in ketika menafsirkan al-Qur’an berpegang kepada sumber-sumber yang telah
ada atau terdahulu, yaitu
- Al-Qur’an (tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an
- Hadis Nabi yang diriwayatkan sahabat
- Penafsiran dan ijtihad sahabat
- Para ahl al-kitab yang telah masuk Islam
- Ijtihad tabi’in.[8]
Pada dasarnya tafsir
tabi’in tidak jauh berbeda dengan tafsir di masa sahabat, misalnya dari segi
metode menafsirkan al-Qur’an, yaitu metode yang digunakan tabi’in sebagai
berikut.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, seperti yang dilakukan sahabat.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan hadis Nabi.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir sahabat.
- Ijtihad, jika mereka tidak menemukan jawaban di dalam al-Qur’an, hadis, dan tafsir sahabat.[9]
Sementara perbedaan
tafsir di masa tabi’in dan tafsir di masa sahabat adalah:
Pertama, di masa
sahabat al-Qur’an belum ditafsirkan secara menyeluruh, sedangkan di masa
tabi’in tafsir telah mencakup sebagian besar ayat al-Qur’an. Kedua, di
masa sahabat perbedaan pemahaman tidak banyak terjadi, sedangkan di masa
tabi’in perbedaan pemahaman semakin banyak. Ketiga, sahabat merasa cukup
hanya dengan makna ayat secara global, sedangkan di masa tabi’in muncul
penafsiran terhadap setiap ayat dan kosa kata. Keempat, di masa sahabat
belum terjadi perbedaan mazhab, sedangkan di masa tabi’in banyak terjadi
perbedaan mazhab. Kelima, di masa sahabat tafsir belum dibukukan,
sedangkan di masa tabi’in tafsir sudah mulai dibukukan. Keenam, di masa
sahabat tafsir masih dalam bentuk hadis dan riwayat, sedangkan di masa tabi’in
tafsir sudah mulai menjadi disiplin ilmu tersendiri, meskipun masih berbentuk
riwayat. Ketujuh, di masa sahabat tafsir hanya sedikit dimasuki riwayat
isrÄ’iliyÄt, sedangkan di masa tabi’in tafsir banyak merujuk kepada riwayat
isrÄ’iliyÄt dan Ahli Kitab[10].
Dari perbedaan tafsir
sahabat dab tafsir tabi’in di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
karakteristik tafsir tabi’in, yaitu
- Penafsiran telah mencakup sebagian besar ayat al-Qur’an
- Sudah mulai banyak perbedaan pemahaman atau pendapat. Perbedaan pemahaman tersebut terjadi tidak terjadi antara pemahaman kolompok tabi’in tetapi juga perbedaan pemahaman antara pendapat tabi’in dan sahabat.[11]
- Telah muncul penafsiran terhadap setiap makna ayat dan kosa kata.
- Tafsir di masa tabi’in sudah mulai dibukukan.
- Tafsir di masa tabi’in sudah mulai menjadi suatu disiplin ilmu, meskipun masih dalam bentuk riwayat. Bentuk periwayat di masa tabi’in mempunyai kekhususan tersendiri yaitu periwayatan terjadi antara tokoh aliran tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya.[12]
- Sudah mulai terjadi perbedaan mazhab mazhab dalam menafsirkan al-Qur’an.[13]
- Sudah banyak diwarnai riwayat-riwayat israiliyat. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya Ahli Kitab yang masuk Islam, sehingga para tabi’in banyak menukil cerita-cerita israiliyat untuk ditasukkan dalam tafsiran mereka. Misalnya cerita israiliyat yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Akhbar, Wahb bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij.[14] Cerita israiliyat tersebut biasanya berhubungan dengan penciptaan alam, rahasia-rahasia makhluk yang ada di alam dan cerita-cerita Nabi dengan umatnya terdahulu. Sehingga untuk mendapat informasi yang mendetail mengenai persoalan-persoalan tersebut, maka para tabi’in cenderung mengambil cerita-cerita tersebut untuk dimasukkan dalam tafsirnya.[15] Akan tetapi yang menjadi catatan lain adalah dengan banyaknya cerita yang diriwayatkan oleh Ahl Kitab tersebut justru menimbulkan silang pendapat mengenai status tafsir tabi’in yang banyak diwarnai cerita-cerita mereka (Ahl Kitab yang masuk Islam). Namun demikian, pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lainnya. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.[16]
Pada penafsiran masa
tabi’in banyak diwarnai perbedaan mazhab. Meskipun demikian serinkali penafsira
tabi’in menggunakan riwayat sahabat sehingga lebih mudah dibedakan mana yang
kuat dan mana yang lemah.
B.
Kualitas Tafsir
Tabi’in
Untuk menetahui kualitas tafsir tabi’in,
setidaknya ada dua hal pokok yan perlu diketahui, yaitu hukum dari tafsir
tabi’in dan nilai dari tafsir tabi’in.
- Hukum dari Tafsir Tabi’in
Ulama berbeda pendapat
mengenai tafsir tabi’in. mereka baru berpedoman pada tafsir tabi’in ini jika
tidak ditemukan tafsir dari Rasulullah dan sahabat. Perbedaan pendapat tersebut
sebagai berikut.
Sebagian kelompok, seperti
Ibnu Aqil, dan berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad dan Syu’bah menyatakan bahwa
tidak wajib berpegang pada tafsir tabi’in karena hal-hal berikut ini.
1.
Mereka tidak mendengar
langsung dari Rasulullah.
2.
Mereka tidak menyaksikan
ketika al-Qur’an sehingga ada kemungkinan salah paham.
3.
Sifat adil tabi’in tidak
ditetapkan oleh al-Qur’an dan hadis seperti halnya sifat adil sahabat.[17]
Namun, banyak dikalangan
mufassir yang berpendapat bahwa tafsir tabi’in dapat dipegangi, sebab pada
umumnya menerimanya dari para sahabat.[18]
Atau misalnya pendapat sekelompok lainnya, seperti Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Abi
Mulaikah, dan al-A’masy. Kelompok ini merupakan mayoritas yang menyatakan bahwa
tafsir tabi’in dapat dipegang jika tidak ditemukan tafsir Rasulullah saw. dan
sahabat. Hal itu karena tabi’in menerima tafsir sahabat, menghadiri majelis
mereka, dan melihat tata cara ibadah mereka. Sehubungan dengan persolan ini,
pendapat yang lebih kuat disampaikan oleh Ibnu Taimiyah, sebagai berikut.
a.
Apabila tabi’in sepakat
terhadap sesuatu, harus diterima dan dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh
meninggalkannya untuk mengambil jalan yang lain. Pendapat ini merupakan
pendapat yang kuat.[19]
b.
Apabila tabi’in berbeda
pendapat, pendapat sebagian mereka tidak dapat digunakan sebagai hujjah dan
perlu merujuk ulang kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat sahabat.[20]
- Nilai Tafsir Tabi’in
Tabi’in adalah generasi yang
belajar al-Qur’an serta ilmu-ilmu agama lainnya dari sahabat. Mereka tidak
melihat langsung proses turunnya wahyu sehingga mereka tidak mengetahuinya
secara pasti. Oleh karena itu, tafsir tabi’in tidak dapat disejajarkan dengan tafsir
sahabat.
Sementara itu, zaman terus
bergulir dan wilayah kekuasaan Islam semakin luas. Tinggallah generasi tabi’in
yang menjadi tempat bertanya. Selanjutnya, mereka harus menjelaskan makna-makna
al-Qur’an yang sulit dan yang belum pernah dijelaskan. Dengan demikian, tafsir
berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia terhadap penjelasan
mengenai al-Qur’an. Oleh sebab itu, tabi’in berijtihad untuk memahami
makna-makna dan yang belum ditemukan penjelasannya.
Sehubungan dengan hasil
ijtihad tabi’in, ulama memberikan penilaian mengenai hal tersebut sebagai
berikut.
1.
Apabila penafsiran tabi’in
mencakup asbÄb an-nuzÅ«l dan hal-hal yang ghaib memiliki kekuatan hukum marfu,
seperti tafsir Mujahid.
2.
Apabila penafsiran tabi’in
merujuk pada Ahli Kitab, hukumnya seperti penafsiran isrÄ’iliyÄt (maksudnya
hadis isrÄ’iliyÄt)
3.
Apa yang disepakati oleh
tabi’in dapat menjadi hujjah
4.
Jika terdapat perbedaan
pendapat, pendapat yang satu tidak dapat dibandingkan dengan tafsir generasi
setelah mereka.[21]
C.
Menyikapi Tafsir
Tabi’in
Tabi’in
adalah generasi yang belajar al-Qur’an dari sahabat. Dengan demikian mereka
tidak menyaksikan langsung turunnya ayat. Di sisi lain, mereka terpencar ke
berbagai wilayah baru untuk berdakwah. Oleh sebab itu, ada saja kemungkinan
mereka salah dalam memahami maksud al-Qur’an sehingga tafsir tabi’in perlu
diteliti ulang. Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan dalam meneliti
tafsir tabi’in.
- Harus dilakukan penelitian lebih saksama berkaitan dengan shahih atau tidaknya sanad.
- Harus mengumpulkan metode-metode tafsir sahabat dan tabi’in sehingga dapat diketahui perbedaan riwayat mereka.
- Apabila ada dua pendapat yang shahih yang berbeda dari seorang sahabat dan tabi’in lalu tidak dapat dikompromikan, harus dianggap sebagai dua pendapat yang berbeda, kecuali diketahui bahwa yang bersangkutan meralatnya.
- Mengompromikan riwayat dari sahabat dan tabi’in untuk menunjukan maksud ayat.
- Tidak semua perbedaan pendapjat dinilai sebagai perbedaan.
- Memperbarui suatu pendapat setelah adanya kesepakatan berikut.
a. Apabila tidak bertentangan, pendapat itu dapat diterima.
b. Apabila bertentangan, pendapat itu harus dipertimbangkan
terlebih dahulu; dan apabila telah jelas bertentangan, harus ditolak.[22]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam metode menafsirkan
al-Qur’an tidak jauh berbeda antara generasi sahabat dengan generasi
selanjutnya yakni generasi tabi’in. sementara dalam persoalan karakteristiknya,
maka karakteristik tafsir generasi sahabat berbeda dengan karakteristik tafsir
tabi’in. Dalam hal ini, karateristik tafsir tabi’in yaitu telah mencakup
sebagian besar ayat al-Qur’an, perbedaan pemahaman semakin banyak, muncul
penafsiran terhadap setiap ayat dan kosa kata, banyak terjadi perbedaan mazhab,
tafsir sudah mulai dibukukan, tafsir masih dalam bentuk hadis dan riwayat,
tafsir sudah mulai menjadi disiplin ilmu tersendiri meskipun masih berbentuk
riwayat, tafsir banyak merujuk kepada riwayat isrÄ’iliyÄt dan Ahli Kitab.
B.
Saran
Penulis menyadari sepenuhnya
bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, terutama
dalam persolan data atau referensi. Dalam makalah ini, referensi yang penulis
temukan, sehingga informasih mengenai pokok bahasan tidak secara tuntas
dibahas. Oleh itu, jika dikemudian hari terdapat pembuatan makalah atau
semacamnya dengan pokok bahasan yang sama dengan makalah ini, maka makalah ini
dapat dijadikan sebagai sumber informasi awal untuk lemudian dikembangkan.
Kritik dan saran pun yang sifatnya membangun sangat dibutuhkan untuk perbaikan
makalah berikutnya.
DAFATAR
PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar
Studi Ilmu al-Qur’an dengan judul asli MabÄhits FÄ« ‘UlÅ«mi al-Qur’Än.
Cet. IX; Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2013
As-Shalih, Subhi. Membahas
Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Cet. 11; Pustaka Firdaus: Jakarta. 2011
Ash-Shiddieqy, Teungku
Muhammad Hasbi. Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Ilmu-Ilmu Pokok dalam Manfsirkan
al-Qur’an. Cet. II; Edisi II; PT. Pustaka Rizki Putra: Semarang. 2002
Malik, Muh. Anis, Studi
Metodologi Tafsir. Cet. I; Makassar: Alauddin University Press. 2011
Mustaqim, Abdul. Dinamika
Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik,
Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer. Cet. Ed. Revisi; Yogyakarta: Adab
Press. 2014
Samsurrohman, Pengantar
Ilmu Tafsir. Ed. I; Cet. I; Jakarta: Amzah. 2014
Shihab, M. Quraish. Membumikan
al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. III;
Mizan: Bandung. 2009
[1]
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an (Cet. 11; Pustaka Firdaus:
Jakarta, 2011), hal 411
[2]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Ilmu-Ilmu Pokok
dalam Manfsirkan al-Qur’an (Cet. II; Edisi II; PT. Pustaka Rizki Putra:
Semarang, 2002), hal 199
[3]
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Cet. III; Mizan: Bandung, 2009), hal 105
[4]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Ilmu-Ilmu Pokok
dalam Manfsirkan al-Qur’an (Cet. II; Edisi II; PT. Pustaka Rizki Putra:
Semarang, 2002), hal 200
[5]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Ilmu-Ilmu Pokok
dalam Manfsirkan al-Qur’an (Cet. II; Edisi II; PT. Pustaka Rizki Putra:
Semarang, 2002), hal 223
[6]
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Cet. III; Mizan: Bandung, 2009), hal 106
[7]
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Ed. I; Cet. I; Jakarta: Amzah,
2014), hal 65
[8]
Muh. Anis Malik, Studi Metodologi Hadis (Cet. I; Makassar: Alauddin
University Press, 2011), hal 70. Lihat juga Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah
Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan,
Hingga Modern-Kontemporer (Cet. Ed. Revisi; Yogyakarta: Adab Press, 2014),
hal 81, dan lihat juga Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
al-Qur’an dengan judul asli MabÄhits FÄ« ‘UlÅ«mi al-Qur’Än (Cet. IX;
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), hal 423-424 yang dikutip dari azd-Dzahabi, at-Tafsir
wa al-Mufassirun
[9]
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, hal 67
[10]
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, hal 66
[11]
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an:
Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga
Modern-Kontemporer, hal 82 dalam Fajr al-Islam karya Ahmad Amin
[12]
Abdul Mustaqim, Dinamika Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari
Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, hal 83
[13]
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an:
Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga
Modern-Kontemporer, hal 83 dalam Fajr al-Islam karya Ahmad Amin
[14]
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an:
Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga
Modern-Kontemporer, hal 82 dalam Fajr al-Islam karya Ahmad Amin
[15]
Abdul Mustaqim, Dinamika Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari
Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, hal 83
[16]
Syaikh Manna al-Qaththan, MabÄhits FÄ« ‘UlÅ«mi al-Qur’Än, hal 428
[17]
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, hal 69
[18]
Syaikh Manna al-Qaththan, MabÄhits FÄ« ‘UlÅ«mi al-Qur’Än, hal 427
[19]
Syaikh Manna al-Qaththan, MabÄhits FÄ« ‘UlÅ«mi al-Qur’Än, hal 427
[20]
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, hal 69
[21]
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, hal 70
[22]
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, hal 71
Security Master protects your privacy
BalasHapus