TUGAS
MAKALAH TAFSIR DAKWAH DAN KOMUNIKASI
KEWAJIBAN
BERDAKWAH BAGI
SETIAP INDIVIDU DAN KELOMPOK
OLEH
KELOMPOK 3:
ARLAN
30300113056
FAKULTAS
USHULUDIN FILSAFAT, DAN POLITIK
PRODI
ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
UIN
ALAUDDIN MAKASSAR
2016-2017
Pendahuluan
Banyak dalam nash-nash agama
yang qath’iy, yang menjelaskan diutusnya Rasulullah saw. sebagai Nabi terakhir,
tiada lagi Nabi sesudahnya. Sementara itu, Islam, risalah yang diturunkan Allah
kepada beliau diyakini sebagai risalah yang kekal dan berlaku hingga akhir
zaman. Kalau demikian, maka seharusnyalah ada yang menggantikan tugas
Rasulullah untuk menyiarkan risalahnya tersebut kapada kepada seluruh umat
manusia.
Itulah sebabnya, umat Islam
sebagai pengikut Rasulullah dikatakan sebagai sekutu Rasulullah dalam hal tugas
menyiarkan risalah Islam itu (al-muslimun hum al-syarikuna li rasulihi fi amri
al-da’wah). Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah siapakah yang
berkewajiban meneruskan dakwah Rasul itu? Apakah semua umat muslim berkewajiban
untuk dakwah atau sebagian kelompok saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
berikut penjelasannya….!
A. Ayat dan Terjemahan
A. Ayat dan Terjemahan
Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeruh kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. ‘Ali Imran/3: 104)
Dalam ayat tersebut di atas,
orang yang diajak bicara adalah kaum mukminin seluruhnya. Mereka terkena taklif
agar memiliki suatu golongan yang melaksanakan kewajiban. Realisasinya adalah
hendaknya masing-masing anggota kelompok tersebut mempunyai dorongan dan mau bekerja
untuk mewujudkan dakwah, dan mengawasi perkembangannya dengan kemampuan
optimal. Sehingga bila mereka melihat kekeliruan atau penyimpangan dalam hal
ini (amar ma’ruf nahi munkar), segera mereka mengembalikannya ke jalan yang
benar[1].
Tidak sedikit ulama yang
mengemukakan pendapat bahwa berdakwah itu wajib, meskipun berbeda dalam wajib ‘ain
atau kifayah. Perbedaan tersebut terletak pada pemahaman kata منكم (min kum) pada ayat tersebut yaitu “min”[2].
kata min tersebut ada yang memberikan perngertian sebagaiللتبعيضية (littab’idhiyyah)
dan للبيانية (lilbayaniyyah)[3].
Littab’idhiyyah sebagian[4]
atau menunjukan bahwa tidak semua orang wajib berdakwah (wajib kifayah)[5],
sedangkan lilbayaniyyah menunjukan bahwa dakwah wajib bagi setiap mukallaf
(wajib ‘ain)[6] atau diartikan sebagian
penjelasan[7].
Dalam kaitannya dengan
kewajiban dakwah, menurut Imam al-Mawardi, dakwah atau upaya menyeru umat
manusia melaksanakan kebaikan (al-ma’ruf) dan meninggalkan perbuatan
buruk (al-mungkar) merupakan kewajiban dan merupakan urusan keagamaan (al-qawaid
al-diniyah). Dan hukum wajib tersebut telah ditetapkan dalam al-Qur’an,
as-Sunnah serta Ijma’ (ijm’a al-Umah). Bahkan dalam pandangan Ibn
Taimiyah, melaksanakan dakwah (ta’muruna bi al-ma’ruf wa tanhawna ‘an
al-mungkar) merupakan kewajiban yang utama dan pertama serta sebaik-baiknya
perbuatan[8].
Demikian juga dengan pandangan
para ulama lainnya, mereka sepakat bahwa hukum melakukan dakwah adalah wajib.
Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang apakah wajib ‘ain atau
wajib kifayah. Hal ini terjadi karena perbedaan cara pandang dalam
menetapkan hukum dan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah[9].
Meskipun demikian, mengenai
kewajiban berdakwa untuk umat manusia terdapat tiga kategori hukum yang sebagai
perselisihan oleh para ulama, yaitu sebagai kewajiban personal, sebagai
kewajiban kolektif, dan sebagai kewajiban personal sekaligud kolektif[10].
1.
Dakwah dihukumi sebagai
personal (fard ‘ain)[11].
Maksudnya, dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Di mana ia akan
dianjar jika melaksanakannya sebagaimana akan berdosa jika meninggalkannya.
Dakwah menjadi kewajiban personal karena tuntutan (implikasi) iman. Di mana
setiap orang yang mengaku beriman, diharuskan mempersaksikan keimanannya ini
kepada publik. Selain melalui amal shaleh, saling berpesan kepada kebajikan dan
ketakwaan, atau dengan menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar. Salah
satu yang pegangan adalah ayat berikut.
“Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. at-Taubah/9: 71)
2.
Dakwah dihukumi sebagai
kewajiban kolektif (fardhu kifayah)[12].
Hal ini berarti, dakwah merupakan kewajiban yang dibebankan kepada komunitas
tertentu yang berkompeten dalam suatu masyarakat. Bila di dalamnya telah
ditemukan sekelompok orang yang mewakili tugas itu, maka gugurlah kewajiban
untuk yang lain. Sebaliknya, jika tidak ada, maka anggota masyarakat itu
mendapat dosa seluruhnya[13].
3.
Dakwah dihukumi wajib
individual (fard ‘ain) sekaligus wajib kolektif (fard kifayah). Maksudnya,
hukum asal dakwah adalah wajib ‘ain, sehingga setiap mukmin memiliki tanggung
jawab moral untuk menyampaikan agamanya sesuai dengan taraf kemampuan dan
kapasitasnya masing-masing atau dipahami sebagai sebagian kamu, namun tidak
menutup kewajiban setiap muslim untuk
saling mengingatkan[14].
Namun demikian, pada aspek-aspek tertentu, dakwah tidak dapat diserahkan kepada
sembarang orang. Dakwah dalam posisi ini menjadi tugas berat dan menuntut
profesionalitas. Dakwah memerlukan kompetensi dan itu hanya mungkin dilakukan
oleh yang memiliki keahlian dalam bidang
ini (kelompok professional).
Dapat ditarik kesimpulan,
bahwa yang bisa melaksakan dakwah hanyalah kalangan khusus umat islam, yaitu
yang mengatahui rahasia-rahasia hukum, hikmah tasyri’ dan fiqihnya. Mereka
adalah orang-orang yan diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam firman-Nya:
Terjemahnya:
"mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka U7itu dapat menjaga dirinya"
Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan
hukum-hukum Allah swt. terhadap kemaslahatan hamba-Nya di setiap zaman dan
tempat, sesuai dengan kadar pengetahuan pengetahuan mereka, baik di
mesjid-mesjid, tempat-tempat ibadah, kelompok masyarakat, atau perayaan-perayaan,
bila kesemptan mengizinkan.
Jika mereka hendak megerjakan hal ini, akan
banyaklah kebaikan dalam umat, dan jarang terjadi kejahatan, serta rukunlah
hati penduduk. Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran dan
mereka merasa berbahagia di dunia dan di akhirat.
Suatu umat yang keadaannya seperti itu, akan
dapat menguasai umat lainnya dengan cara menyatukan kalimah dan kecenderungan
mereka. Yang terlintas dalam pikiran mereka hanyalah meluhurkan agamanya,
kejayaan umat, dan disegani di seantero dunia.
Hal itu tidak akan terwujud tanpa mereka
terlebih dulu membebani persiapannya, membekali diri dengan ilmu pengetahuan
yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan dan kemajuan, menghiasi diri dengan
akhlak utama dan sifat-sifat terpuji, sehingga mereka menjadi contoh yang baik
untuk diturut, dan menjadi perhatian umat lainnya. Sesungguhnya yan tersimpan
dalam agama kami, dari semua itu dan apa yang ditinggalkan (diwariskan) oleh
Salafus Salih kepada kita, yaitu pembendaharaan dan kekayaan ilmiah, merupakan
pakan kecukupan bagi orang yang menghendaki kebaikan dan kebahagiaan[15].
Selanjutnya, dalam ayat tersebut menggunakan dua
kata yang berbeda dalam rangka perintah berdakwah. Pertama adalah kata يدعون yakni mengajak, dan kedua adalah يأمرون yakni memerintahkan. Sayyid Quthub dalam tafsir mengemukakan
bahwa penggunaan dua kata yang berbeda itu menunjukan keharusan adanya dua
kelompok dalam masyarakat Islam. Kelompok pertama bertugas mengajak dan
kelompok kedua yang bertugas memerintah dan melarang. Kelompok kedua ini
tentulah memiliki kekuasaan di bumi. “ajaran Ilahi di bumi ini bukan sekedar
nasehat, petunjuk, dan penjelasan. Ini adalah salah satu sisi, sedang sisinya
yang kedua adalah melaksanakan kekuasaan memerintah dan melarang, agar ma’ruf
dapat wujud, dan kemungkaran dapat sirna”. Dalam hal ini berarti Sayyid Quthub
mempersamakan antara kandungan al-khair dengan al-Ma’ruf, dan
bahwa lawan dari al-khair adalah al-munkar.
Al-Qur’an mengisyaratatkan kedua nilai الخير/kebajikan dan المعروف. Al-khair adalah nilai universal yang diajarkan oleh
al-Qur’an dan Sunnah. al-khair menurut Rasulullah saw. sebagaimana di kemukakan
Ibnu Katsir dalam tafsirnya adalah (اتباع
القران وسنتى) “mengikuti al-Qur’an dan Sunnahku”. Sedang al-ma’ruf
adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan
dengan al-khair. Ada pun al-munkar adalah sesuatu yang dinilai buruk
oleh masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai ilahi[16].
- Analisis Kelompok
Ayat tersebut di atas menjelaskan menjelaskan
tentang kewajiban berdakwa. Kewajiban tersebut tertuju umat Muslim atau
beragama Islam, baik setiap individu (wajib ‘ain), kelompok/kolektif (wajib
kifayah), maupun wajib bagi setiap individu sekaligus kelompok. Ketika dakwah
dipandang sebagai wajib ‘ain berarti dakwah dipandang dalam pengertian umum
sebagai kegiatan mengajak orang kepada kebaikan unsich. Dalam ruang lingkup
ini, dakwah memang memunkinkan untuk dilakukan oleh siapa saja dari setiap
muslim karena pengertian ini tidak menuntut keahlian dan spesifikas khusus, dan
siapa saja tanpa terkait kategori tertentu dapat mengajak orang lain kepada
kebaikan.
Kedua, dakwah sebagai wajib kifayah berarti
dakwah menjadi tanggung jawab ulama atau kelompok professional. Hal ini berarti
dakwah secara otomatis naik tugas dan fungsinya menjadi sebuah rekayasa sosial
(social engineering) yang membutuhkah kehlian dan keahlian tertentu.
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah
ketika tugas dakwah menjadi kewajiban individu (wajib ‘ain) maupun kelompok
(wajib kifayah). Maka, ada beberapa hal yang perlu dipenuhi sebagai syarat
pendakwah, yaitu
- Hendaknya pandai dalam bidang al-Qur’an, Sunnah, dan Sirah Nabi Muhammad saw. dan Khulafaur Rasyidin ra.
- Hendakya pandai membaca situasi orang-orang yang sedang menerima dakwahnya, baik dalam urusan, bakat, watak, dan akhlak mereka. Atau singkatnya, mengetahui sosial mereka.
- Hendaknya ia mengetahui bahasa umat yang dituju oleh dakwahnya. Rasulullah saw. sendiri memerintahkan kepada para sahabat mempelajari bahasa Ibarani, karena beliau perlu berdialog dengan orang-orang Yahudi yang menjadi tetangga beliau, dan untuk mengetahui hakikat mereka.
- Mengetahui agama, sekte-sekte, aliran masyarakat agar juru dakwah bisa mengetahui kebatilan-kebatilan yang terkandung padanya. Sebab bila seseorang tidak jelas kebatilan yang dipeluknya, maka sulit baginya memenuhi ajakan kebenaran yang didengungkan oleh orang lain, sekalipun orang tersebut telah mengajaknya.
Oleh sebab itu, ketika empat
tersebut di atas menjadi patokan, maka meskipun dakwah sebagai kewajiban umat
Muslim, namun ketika tidak memenuhi syarat maka ia tidak layak. Berarti dakwah
hanya akan bisa dilakukan oleh kalangan professional. Meskipun demikian, pada
dasarnya semua kebaikan yang setiap individu lakukan baik dalam bentuk tingkah
laku/sikap, perkataan/cara bicara yang baik itu merupakan bagian kecil dari
dakwah secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. Tafsir
al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasia al-Qur’an, Volume II; Lentera Hati:
Tanggerang.2007
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Terjamahan
Tafsir al-Maraghi, Juz. IV; Cet. II; PT. Karya Toha Putra Semaran:
Semarang, 1993
Ismail, Ilyas dan Prio Hotman.
Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban, Cet. I; Prenada
Media Group: Jakarta, 2011
Sukayat, Tata. Quantum
Dakwah, Rineka Cipta: Jakarta, 2009
Muliadi. Dakwah Inklusif,
Cet. I; Alauddin University Press: Makassar, 2013
Jafar, Iftitah. Tafsir Ayat
Dakwah: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah Inklusif, CV. Berkah Utami
Makassar: Makassar, 2001
[1]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjamahan Tafsir al-Maraghi (Juz. IV; Cet.
II; PT. Karya Toha Putra Semaran: Semarang, 1993), hal 36
[2]
Muliadi, Dakwah Inklusif (Cet. I; Alauddin University Press: Makassar,
2013), hal 11
[3]
Iftitah Jafar, Tafsir Ayat Dakwah: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah
Inklusif (CV. Berkah Utami Makassar: Makassar, 2001), hal 7
[4]
Muliadi, Dakwah Inklusif (Cet. I; Alauddin University Press: Makassar,
2013), hal 11
[5]
Iftitah Jafar, Tafsir Ayat Dakwah: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah
Inklusif (CV. Berkah Utami Makassar: Makassar, 2001), hal 7
[6]
Iftitah Jafar, Tafsir Ayat Dakwah: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah Inklusif
(CV. Berkah Utami Makassar: Makassar, 2001), hal 7
[7]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasia al-Qur’an
(Volume II; Lentera Hati: Tanggerang, 2007), hal 162
[8]
Tata Sukayat, Quantum Dakwah (Rineka Cipta: Jakarta, 2009), hal 20
[9]
Tata Sukayat, Quantum Dakwah (Rineka Cipta: Jakarta, 2009), hal 20-21
[10]
Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban (Cet. I; Prenada Media Group: Jakarta, 2011), hal
[11]
Muliadi, Dakwah Inklusif (Cet. I; Alauddin University Press: Makassar,
2013), hal 10
[12]
Muliadi, Dakwah Inklusif (Cet. I; Alauddin University Press: Makassar,
2013), hal 10
[13]
Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban (Cet. I; Prenada Media Group: Jakarta, 2011), hal 65
[14]
M. Quraish Shihab, TafJsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasia al-Qur’an
(Volume II; Lentera Hati: Tanggerang, 2007), hal 163
[15]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjamahan Tafsir al-Maraghi (Juz. IV; Cet.
II; PT. Karya Toha Putra Semaran: Semarang, 1993), hal 38
[16]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasia al-Qur’an
(Volume II; Lentera Hati: Tanggerang, 2007), hal 164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar