Selasa, 29 Maret 2016

Kewajiban Berdakwah Bagi Setiap Individu dan Kelompok



TUGAS MAKALAH TAFSIR DAKWAH DAN KOMUNIKASI
KEWAJIBAN BERDAKWAH BAGI
 SETIAP INDIVIDU DAN KELOMPOK

OLEH KELOMPOK 3:
ARLAN
30300113056

FAKULTAS USHULUDIN FILSAFAT, DAN POLITIK
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2016-2017



Pendahuluan
Banyak dalam nash-nash agama yang qath’iy, yang menjelaskan diutusnya Rasulullah saw. sebagai Nabi terakhir, tiada lagi Nabi sesudahnya. Sementara itu, Islam, risalah yang diturunkan Allah kepada beliau diyakini sebagai risalah yang kekal dan berlaku hingga akhir zaman. Kalau demikian, maka seharusnyalah ada yang menggantikan tugas Rasulullah untuk menyiarkan risalahnya tersebut kapada kepada seluruh umat manusia.
Itulah sebabnya, umat Islam sebagai pengikut Rasulullah dikatakan sebagai sekutu Rasulullah dalam hal tugas menyiarkan risalah Islam itu (al-muslimun hum al-syarikuna li rasulihi fi amri al-da’wah). Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah siapakah yang berkewajiban meneruskan dakwah Rasul itu? Apakah semua umat muslim berkewajiban untuk dakwah atau sebagian kelompok saja? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut penjelasannya….!
A. Ayat dan Terjemahan
       
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeruh kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. ‘Ali Imran/3: 104)

      B. Penjelasan Tafsir Ayat
Dalam ayat tersebut di atas, orang yang diajak bicara adalah kaum mukminin seluruhnya. Mereka terkena taklif agar memiliki suatu golongan yang melaksanakan kewajiban. Realisasinya adalah hendaknya masing-masing anggota kelompok tersebut mempunyai dorongan dan mau bekerja untuk mewujudkan dakwah, dan mengawasi perkembangannya dengan kemampuan optimal. Sehingga bila mereka melihat kekeliruan atau penyimpangan dalam hal ini (amar ma’ruf nahi munkar), segera mereka mengembalikannya ke jalan yang benar[1].
Tidak sedikit ulama yang mengemukakan pendapat bahwa berdakwah itu wajib, meskipun berbeda dalam wajib ‘ain atau kifayah. Perbedaan tersebut terletak pada pemahaman kata منكم (min kum)  pada ayat tersebut yaitu “min”[2]. kata min tersebut ada yang memberikan perngertian sebagaiللتبعيضية  (littab’idhiyyah) dan للبيانية (lilbayaniyyah)[3]. Littab’idhiyyah sebagian[4] atau menunjukan bahwa tidak semua orang wajib berdakwah (wajib kifayah)[5], sedangkan lilbayaniyyah menunjukan bahwa dakwah wajib bagi setiap mukallaf (wajib ‘ain)[6] atau diartikan sebagian penjelasan[7].
Dalam kaitannya dengan kewajiban dakwah, menurut Imam al-Mawardi, dakwah atau upaya menyeru umat manusia melaksanakan kebaikan (al-ma’ruf) dan meninggalkan perbuatan buruk (al-mungkar) merupakan kewajiban dan merupakan urusan keagamaan (al-qawaid al-diniyah). Dan hukum wajib tersebut telah ditetapkan dalam al-Qur’an, as-Sunnah serta Ijma’ (ijm’a al-Umah). Bahkan dalam pandangan Ibn Taimiyah, melaksanakan dakwah (ta’muruna bi al-ma’ruf wa tanhawna ‘an al-mungkar) merupakan kewajiban yang utama dan pertama serta sebaik-baiknya perbuatan[8].
Demikian juga dengan pandangan para ulama lainnya, mereka sepakat bahwa hukum melakukan dakwah adalah wajib. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang apakah wajib ‘ain atau wajib kifayah. Hal ini terjadi karena perbedaan cara pandang dalam menetapkan hukum dan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah[9].
Meskipun demikian, mengenai kewajiban berdakwa untuk umat manusia terdapat tiga kategori hukum yang sebagai perselisihan oleh para ulama, yaitu sebagai kewajiban personal, sebagai kewajiban kolektif, dan sebagai kewajiban personal sekaligud kolektif[10].
1.      Dakwah dihukumi sebagai personal (fard ‘ain)[11]. Maksudnya, dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Di mana ia akan dianjar jika melaksanakannya sebagaimana akan berdosa jika meninggalkannya. Dakwah menjadi kewajiban personal karena tuntutan (implikasi) iman. Di mana setiap orang yang mengaku beriman, diharuskan mempersaksikan keimanannya ini kepada publik. Selain melalui amal shaleh, saling berpesan kepada kebajikan dan ketakwaan, atau dengan menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar. Salah satu yang pegangan adalah ayat berikut.

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. at-Taubah/9: 71)
2.      Dakwah dihukumi sebagai kewajiban kolektif (fardhu kifayah)[12]. Hal ini berarti, dakwah merupakan kewajiban yang dibebankan kepada komunitas tertentu yang berkompeten dalam suatu masyarakat. Bila di dalamnya telah ditemukan sekelompok orang yang mewakili tugas itu, maka gugurlah kewajiban untuk yang lain. Sebaliknya, jika tidak ada, maka anggota masyarakat itu mendapat dosa seluruhnya[13].
3.      Dakwah dihukumi wajib individual (fard ‘ain) sekaligus wajib kolektif (fard kifayah). Maksudnya, hukum asal dakwah adalah wajib ‘ain, sehingga setiap mukmin memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan agamanya sesuai dengan taraf kemampuan dan kapasitasnya masing-masing atau dipahami sebagai sebagian kamu, namun tidak menutup kewajiban  setiap muslim untuk saling mengingatkan[14]. Namun demikian, pada aspek-aspek tertentu, dakwah tidak dapat diserahkan kepada sembarang orang. Dakwah dalam posisi ini menjadi tugas berat dan menuntut profesionalitas. Dakwah memerlukan kompetensi dan itu hanya mungkin dilakukan oleh  yang memiliki keahlian dalam bidang ini (kelompok professional).
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang bisa melaksakan dakwah hanyalah kalangan khusus umat islam, yaitu yang mengatahui rahasia-rahasia hukum, hikmah tasyri’ dan fiqihnya. Mereka adalah orang-orang yan diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam firman-Nya:

  
Terjemahnya:
"mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka   U7itu dapat menjaga dirinya"
Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan hukum-hukum Allah swt. terhadap kemaslahatan hamba-Nya di setiap zaman dan tempat, sesuai dengan kadar pengetahuan pengetahuan mereka, baik di mesjid-mesjid, tempat-tempat ibadah, kelompok masyarakat, atau perayaan-perayaan, bila kesemptan mengizinkan.
Jika mereka hendak megerjakan hal ini, akan banyaklah kebaikan dalam umat, dan jarang terjadi kejahatan, serta rukunlah hati penduduk. Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran dan mereka merasa berbahagia di dunia dan di akhirat.
Suatu umat yang keadaannya seperti itu, akan dapat menguasai umat lainnya dengan cara menyatukan kalimah dan kecenderungan mereka. Yang terlintas dalam pikiran mereka hanyalah meluhurkan agamanya, kejayaan umat, dan disegani di seantero dunia.
Hal itu tidak akan terwujud tanpa mereka terlebih dulu membebani persiapannya, membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan dan kemajuan, menghiasi diri dengan akhlak utama dan sifat-sifat terpuji, sehingga mereka menjadi contoh yang baik untuk diturut, dan menjadi perhatian umat lainnya. Sesungguhnya yan tersimpan dalam agama kami, dari semua itu dan apa yang ditinggalkan (diwariskan) oleh Salafus Salih kepada kita, yaitu pembendaharaan dan kekayaan ilmiah, merupakan pakan kecukupan bagi orang yang menghendaki kebaikan dan kebahagiaan[15].
Selanjutnya, dalam ayat tersebut menggunakan dua kata yang berbeda dalam rangka perintah berdakwah. Pertama adalah kata يدعون yakni mengajak, dan kedua adalah يأمرون yakni memerintahkan. Sayyid Quthub dalam tafsir mengemukakan bahwa penggunaan dua kata yang berbeda itu menunjukan keharusan adanya dua kelompok dalam masyarakat Islam. Kelompok pertama bertugas mengajak dan kelompok kedua yang bertugas memerintah dan melarang. Kelompok kedua ini tentulah memiliki kekuasaan di bumi. “ajaran Ilahi di bumi ini bukan sekedar nasehat, petunjuk, dan penjelasan. Ini adalah salah satu sisi, sedang sisinya yang kedua adalah melaksanakan kekuasaan memerintah dan melarang, agar ma’ruf dapat wujud, dan kemungkaran dapat sirna”. Dalam hal ini berarti Sayyid Quthub mempersamakan antara kandungan al-khair dengan al-Ma’ruf, dan bahwa lawan dari al-khair adalah al-munkar.
Al-Qur’an mengisyaratatkan kedua nilai الخير/kebajikan dan المعروف. Al-khair adalah nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. al-khair menurut Rasulullah saw. sebagaimana di kemukakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya adalah (اتباع القران وسنتى) “mengikuti al-Qur’an dan Sunnahku”. Sedang al-ma’ruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan al-khair. Ada pun al-munkar adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai ilahi[16].
  1. Analisis Kelompok
Ayat tersebut di atas menjelaskan menjelaskan tentang kewajiban berdakwa. Kewajiban tersebut tertuju umat Muslim atau beragama Islam, baik setiap individu (wajib ‘ain), kelompok/kolektif (wajib kifayah), maupun wajib bagi setiap individu sekaligus kelompok. Ketika dakwah dipandang sebagai wajib ‘ain berarti dakwah dipandang dalam pengertian umum sebagai kegiatan mengajak orang kepada kebaikan unsich. Dalam ruang lingkup ini, dakwah memang memunkinkan untuk dilakukan oleh siapa saja dari setiap muslim karena pengertian ini tidak menuntut keahlian dan spesifikas khusus, dan siapa saja tanpa terkait kategori tertentu dapat mengajak orang lain kepada kebaikan.
Kedua, dakwah sebagai wajib kifayah berarti dakwah menjadi tanggung jawab ulama atau kelompok professional. Hal ini berarti dakwah secara otomatis naik tugas dan fungsinya menjadi sebuah rekayasa sosial (social engineering) yang membutuhkah kehlian dan keahlian tertentu.
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah ketika tugas dakwah menjadi kewajiban individu (wajib ‘ain) maupun kelompok (wajib kifayah). Maka, ada beberapa hal yang perlu dipenuhi sebagai syarat pendakwah, yaitu
  1. Hendaknya pandai dalam bidang al-Qur’an, Sunnah, dan Sirah Nabi Muhammad saw. dan Khulafaur Rasyidin ra.
  2. Hendakya pandai membaca situasi orang-orang yang sedang menerima dakwahnya, baik dalam urusan, bakat, watak, dan akhlak mereka. Atau singkatnya, mengetahui sosial mereka.
  3. Hendaknya ia mengetahui bahasa umat yang dituju oleh dakwahnya. Rasulullah saw. sendiri memerintahkan kepada para sahabat mempelajari bahasa Ibarani, karena beliau perlu berdialog dengan orang-orang Yahudi yang menjadi tetangga beliau, dan untuk mengetahui hakikat mereka.
  4. Mengetahui agama, sekte-sekte, aliran masyarakat agar juru dakwah bisa mengetahui kebatilan-kebatilan yang terkandung padanya. Sebab bila seseorang tidak jelas kebatilan yang dipeluknya, maka sulit baginya memenuhi ajakan kebenaran yang didengungkan oleh orang lain, sekalipun orang tersebut telah mengajaknya.
Oleh sebab itu, ketika empat tersebut di atas menjadi patokan, maka meskipun dakwah sebagai kewajiban umat Muslim, namun ketika tidak memenuhi syarat maka ia tidak layak. Berarti dakwah hanya akan bisa dilakukan oleh kalangan professional. Meskipun demikian, pada dasarnya semua kebaikan yang setiap individu lakukan baik dalam bentuk tingkah laku/sikap, perkataan/cara bicara yang baik itu merupakan bagian kecil dari dakwah secara umum.










DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasia al-Qur’an, Volume II; Lentera Hati: Tanggerang.2007
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Terjamahan Tafsir al-Maraghi, Juz. IV; Cet. II; PT. Karya Toha Putra Semaran: Semarang, 1993
Ismail, Ilyas dan Prio Hotman. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban, Cet. I; Prenada Media Group: Jakarta, 2011
Sukayat, Tata. Quantum Dakwah, Rineka Cipta: Jakarta, 2009
Muliadi. Dakwah Inklusif, Cet. I; Alauddin University Press: Makassar, 2013
Jafar, Iftitah. Tafsir Ayat Dakwah: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah Inklusif, CV. Berkah Utami Makassar: Makassar, 2001


[1] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjamahan Tafsir al-Maraghi (Juz. IV; Cet. II; PT. Karya Toha Putra Semaran: Semarang, 1993), hal 36
[2] Muliadi, Dakwah Inklusif (Cet. I; Alauddin University Press: Makassar, 2013), hal 11
[3] Iftitah Jafar, Tafsir Ayat Dakwah: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah Inklusif (CV. Berkah Utami Makassar: Makassar, 2001), hal 7
[4] Muliadi, Dakwah Inklusif (Cet. I; Alauddin University Press: Makassar, 2013), hal 11
[5] Iftitah Jafar, Tafsir Ayat Dakwah: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah Inklusif (CV. Berkah Utami Makassar: Makassar, 2001), hal 7
[6] Iftitah Jafar, Tafsir Ayat Dakwah: Pesan, Metode, dan Prinsip Dakwah Inklusif (CV. Berkah Utami Makassar: Makassar, 2001), hal 7
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasia al-Qur’an (Volume II; Lentera Hati: Tanggerang, 2007), hal 162
[8] Tata Sukayat, Quantum Dakwah (Rineka Cipta: Jakarta, 2009), hal 20
[9] Tata Sukayat, Quantum Dakwah (Rineka Cipta: Jakarta, 2009), hal 20-21
[10] Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban (Cet. I; Prenada Media Group: Jakarta, 2011), hal
[11] Muliadi, Dakwah Inklusif (Cet. I; Alauddin University Press: Makassar, 2013), hal 10
[12] Muliadi, Dakwah Inklusif (Cet. I; Alauddin University Press: Makassar, 2013), hal 10
[13] Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban (Cet. I; Prenada Media Group: Jakarta, 2011), hal 65
[14] M. Quraish Shihab, TafJsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasia al-Qur’an (Volume II; Lentera Hati: Tanggerang, 2007), hal 163
[15] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjamahan Tafsir al-Maraghi (Juz. IV; Cet. II; PT. Karya Toha Putra Semaran: Semarang, 1993), hal 38
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasia al-Qur’an (Volume II; Lentera Hati: Tanggerang, 2007), hal 164
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar