Skripsi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Agama jika ditinjau dari aspek asal usulnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu agama yang berasal dari Tuhan yang sering disebut dengan agama Samawi dan ada yang berasal dari pemikiran yang sering disebut dengan agama ard} atau agama kebudayaan.[1] Agama samawi misalnya diwakili oleh agama Islam, agama Yahudi, dan agama Kristen. Sedangkan agama ard} misalnya diwakili oleh agama Hindu, agama Budha, dan lain-lain.
Beragama sendiri merupakan fitrah manusia di mana dalam hal ini, manusia diberikan tiga potensi yang dikenal dengan naluri (al-g}arizah) yaitu g}arizah al-baqa (naluri mempertahankan diri), g}arizah al-tadayun (mentaqdiskan atau mensucikn sesuatu), dan g}arizah al-nau’ (naluri melestarikan keturunan). G}arizah al-tadayun misalnya adalah naluri yang diciptakan Tuhan untuk manusia di mana manusia memiliki kecenderungan untuk mensucikan atau mengkultuskan sesuatu. Dalam hal ini keberagaman seseorang merupakan fitrah manusia yang dibawa sejak ia dilahirkan.[2]
Oleh sebab agama sebagai fitrah bagi setiap manusia, maka itu berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian karena agama merupakan kebutuhan hidupnya.[3] Akhirnya keberagaman beragama juga sudah menjadi fitrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya) bagi setiap insan. Keberagaman beragama sendiri merupakan suatu kekayaan tersendiri yang harus diterima bagi suatu bangsa atau negara sebagai sunnatullah atau sesuatu yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Olehnya itu, usaha penolakan terhadap keberagaman dalam hidup tentu tidak akan mungkin tercapai.[4] Keberagaman sebagai sunnatullah digariskan Allah dalam firman-Nya dalam QS. al-Hujura>t/49: 13.
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ   
Terjemahnya:
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti[5]
Melalui ayat tersebut, Tuhan menunjukan kuasanya dalam menciptakan manusia dalam keberagaman. Lebih lanjut, Tuhan mengemukakan bahwa salah satu alasan diciptakan keragaman tersebut adalah agar supaya manusia dapat saling mengenal. Di sisi lain juga Tuhan menjelaskan bahwa sangatlah mudah bagi-Nya untuk menjadikan semua manusia ini menjadi satu umat,[6] tapi Tuhan tidak hendak melakukan itu karena Tuhan ingin melihat siapa yang bersungguh-sungguh dalam kebajikan, tentunya dengan mengikuti jalan-Nya. Dikabarkan pula bahwa umat manusia dahulu adalah satu[7] dalam kepercayaan satu tauhid, tetapi setelah itu tidak lagi demikian karena mereka berselisih.[8] Perselisihan mereka kemudian untuk menyelesaikan perselisihan mereka maka diutuslah Nabi di antara mereka. Orang-orang yang tetap dalam keimanan tetap mengikuti wahyu yang dibawa oleh Nabi-Nabi tersebut, sedangkan orang yang tidak percaya kepada Nabi-Nabi tersebut mereka lebih meilih jalan yang melanggar Nabi-Nabi tersebut. Akhirnya sejalan dengan QS. al-Hujura>t/49: 13 bahwa Allah tidak hendak menjadikan umat manusia satu umat saja, akan tetapi Allah memberikan jalan kepada siapa saja yang berusaha untuk memperoleh kebajikan dijalannya atau mengikuti jalan-Nya, maka ia telah memeilih jalan yang dibawa oleh para Nabi tersebut termasuk umat Nabi Muhammad saw.
Namun, di samping itu pula keberagaman tersebut dapat mengarah kepada dua potensi yaitu potensi rahmat dan potensi laknat atau malapetaka tergantung bagaimana caranya manusia mengelola keberagaman tersebut. Keberagaman atau pluralitas yang dikelola dengan baik dapat menjadi rahmat karena pluralitas dapat menumbuhkan rasa keingintahuan, apresiasi, saling pengertian, ko-eksistensi, dan kolaborasi antar sesama. Di samping itu, sikap eksklusivitas yang muncul dalam masyarakat yang plural merupakan salah satu penyebab kenapa keberagaman bisa menjadi malapetaka. Sikap eksklusivitas bahkan cenderung mengantarkan umat beragama kepada konflik beragama.[9] Dalam sikap eksklusivitas, perbedaan agama, suku, atau budaya tidak lagi dilihat sebagai sebuah keindahan, namun dilihat sebagai sebuah ancaman terhadap keyakinan yang dimilikinya.
Akibatnya dari sikap tersebut, konflik antar umat dalam realitas masyarakat yang pluralitas, yang mensinyalir atas nama agama tidak dapat dipungkiri, karena agama juga ikut andil terhadap lahirnya konflik (meskipun tidak dominan), seperti peristiwa-peristiwa yang terjadi di wilayah-wilayah kepulauan Indonesia, misalnya Situbondo, Tasikmalaya, Kupang, Sambas[10], konflik suku, agama, dan ras di Ambon dan Poso yang dinilai banyak orang sebagai konflik berlatar belakang agama, yakni antara pemeluk Islam dan Kristen.[11] Konflik-konflik ini dikatakan sebagai konflik agama karena bukan rahasia lagi bahwa kalangan yang terlibat di dalamnya telah memakai bendera agama masing-masing dan menegaskan adanya kepentingan agama yang mengiringi perjuangan lainnya atau konflik lainnya yang akan merambah ke daerah lain di seluruh kawasan Nusantara Indonesia tanpa terkecuali daerah Pulau Jawa yang masyarakatnya juga dalam kondisi plural agama.
Meskipun demikian, pendorong terjadinya konflik antar umat beragama dalam masyarakat plural terkadang bukan dipengaruhi oleh faktor-faktor atas nama agama. Akan tetapi konflik yang terjadi juga disebabkan oleh faktor lain, karena dalam masyarakat meskipun berada dalam pluralitas agama diwarnai juga dengan berbagai aspek pluralitas dalam hal lain, seperti ekonomi, politik, sosial budaya, atau yang lainnya. Misalnya juga disebabkan oleh persoalan pendirian rumah ibadah atau cara penyiaran agama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau karena adanya salah paham di antara pemeluk agama.

Untuk itu, pengajaran akan penerimaan akan keberagaman serta penghargaan akan keberagaman semakin penting untuk digalakkan mengingat betapa pentingnya pemahaman ini diajarkan kepada generasi mudah. Sebab semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan dan kedamaian, agama Islam misalnya mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam, agama Kristen mengajarkan cinta kasih, agama Buddha mengajarkan kesederhanaan, agama Hindu mengajarkan sifat dharma, dan agama Khonghucu mengajarkan kebijaksaan. Ajaran agama Hindu dalam Kitab Weda misalnya sarat akan ajaran moral dan etika dalam pembentukan pribadi manusia yang berkarakter damai, sejuk, dan santun.[12] Begitu pun dengan Ajaran Islam yang digambarkan dalam QS. al-Anbiyā/21:107.
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Terjemahnya:
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam[13]
Dalam sejarah kehidupan umat Islam sikap hidup rukun telah ada dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. di awal beliau membangun Madinah. Ketika Nabi Muhammad saw. hijrah ke kota Madinah, Nabi segera menyadari akan adanya pluralitas yang terdapat di kota tersebut. Pluralitas yang dihadapi Nabi tidak hanya karena perbedaan etnis semata, tetapi juga perbedaan agama. Melihat pluralitas keagamaan ini Nabi berinisiatif untuk membangun kebersamaan dengan yang berbeda agama. Inisiatif itu kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan Piagam Madinah.[14] Piagam tersebut memuat beberapa poin perjanjian yang berhubungan dengan kerukunan beragama misalnya bahwa sesungguhnya orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu kesatuan bersama kaum Mukminin; orang-orang Yahudi boleh menjalankan agama mereka dan kaum Muslimin juga menjalankan agama mereka, (ini berlaku untuk) sekutu mereka dan diri mereka sendiri, demikian pula dengan orang-orang Yahudi selain Bani Auf.[15] Dalam hal ini Rasulullah saw. sebagai pemimpin saat itu menetapkan kebebasan orang Yahudi dengan tiga golongannya di Madinah untuk melaksanakan simbol-simbol keagamaan mereka.[16]\
Begitupun dengan Umar ibn al-Khattab, Umar membuat sebuah perjanjian dengan penduduk Yerussalem, setelah kota suci itu ditaklukan oleh kaum Muslimin. Isi perjanjian itu antara lain bunyinya “Ia (Umar) menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit atau pun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya.[17]
Kebijakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. maupun Umar ibn al-Khattab di atas tentu dengan dasar-dasar pijakan yang terdapat dalam al-Qur’an. Bahkan di beberapa ayat dalam al-Qur’an memberikan anjuran untuk tetap bersikap baik terhadap mereka yang berbeda agama. Di samping itu, terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an yang mengatur bagaimana hubungan seorang Muslim dengan non-Muslim atau beda agama, baik menyangkut perkara tauhid maupun menyangkup perkara sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, pada kenyataan lain adalah adanya anggapan dari umat-umat beragama tentang agama Islam bahwa agama Islam identik dengan kekerasan dalam bertindak. Keadaan ini akan mengantar seseorang untuk bersikap tidak percaya terhadap Islam sebagai “rahmatan li al-‘a>lami>n” tidak hanya pada sesama umat Islam saja tapi seluruh agama bahkan alam semesta ini. Buktinya adalah banyak di antara non-Muslim yang menganggap Islam itu selalu membenci manusia yang tidak seagama dengannya. Padahal kenyataanya Islam telah mengatur bagaiamana seharusnya hubungan dilakukan dengan orang yang berbeda agama, baik dari sisi sosial maupun perkara lainnya. Misalnya Islam tidak pernah melarang umatnya untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap non-Muslim, hal ini misalnya sebagaimana digambarkan dalam firman Allah swt. dalam QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9.
žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ムÎû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_̍øƒä `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ br& óOèdrŽy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ   $yJ¯RÎ) ãNä39pk÷]tƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNä.qè=tG»s% Îû ÈûïÏd9$# Oà2qã_t÷zr&ur `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ (#rãyg»sßur #n?tã öNä3Å_#t÷zÎ) br& öNèdöq©9uqs? 4 `tBur öNçl°;uqtFtƒ šÍ´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÒÈ
Terjemahnya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.[18]
Ayat tersebut di atas telah membuktikan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak sebagai manusia yang hidup berdampingan dalam satu kekuasaan. Tidak diskriminan terhadap kelompok tertentu sepanjang, memberikan perlakuan yang sama dalam keadaan yang plural. Bahkan ayat tersebut pula menggambarkan prinsip-prinsip dalam agama Islam dalam kehidupan yang plural. Untuk selanjutnya, agar lebih memberikan pemahaman mengenai sikap dan prinsip-prinsip dalam agama Islam dalam kaitannya dengan kehidupan yang plural yang terdapat dalam QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9, maka akan dilakukan pengkajian mendalam terhadap hal-hal tersebut dalam sebuah judul “Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama (Suatu Kajian Tahlili Terhadap QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9)”. Pengkajian ini dimaksudkan agar memberikan gambaran bahwa Islam itu juga peduli dengan sesama tidak hanya terbatas dalam lingkup umat Islam sendiri tapi juga peduli dengan sesama beda agama sekali pun. Karena agama Islam merupakan agama “rahmatan li al-‘a>lami>n”, rahmat bagi alam semesta, pembawa misi damai bagi  semua umat tidak memandang latar belakang keagamaan.
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah pokok yang menjadi pembahasan untuk dikaji lebih lanjut ialah “Bagaimana Konsep Kerukunan Antar Umat Bergama dalam QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9?”. Agar pembahasan dalam skripsi ini terarah, maka masalah pokok tersebut dibuat dalam bentuk sub-sub masalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana esensi kerukunan hidup antar umat beragama?
  2. Bagaimana wujud kerukunan hidup antar umat beragama dalam QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9?
  3. Bagaimana syarat prinsip dan urgensi kerukunan hidup antar umat beragama dalam QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9?
C.   Definisi Operasional dan Ruang Lingkup
  1. Kerukunan
Secara etimologi istilah “kerukunan” berasal dari bahasa Arab “ruknun” yang berarti tiang, dasar, atau sila.[19] Jamak dari “ruknun” adalah “arkan” diartikan dengan suatu bangunan sederhana yang terdiri atas beberapa unsur. Rukun dapat pula dipahami dengan arti baik, damai, bersepakat, atau perkumpulan yang berdasar tolong menolong dan persahabatan.[20] Dari sini dapat diambil suatu pengertian, bahwa kerukunan merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur yang berlainan, dan setiap unsur tersebut saling menguatkan. Kesatuan tidak dapat terwujud jika di antara unsur tersebut ada yang tidak berfungsi.[21] Pengertian ini senada dengan pemaknaan dalam ilmu fikih, di mana rukun diartikan sebagai bagian yang tak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain. Rukun dalam suatu ibadah berarti pokok atau dasar satu bagian ibadah yang kalau ditinggalkan ibadah tersebut menjadi tidak sah.[22]
  1. Agama
Agama dalam pengertian bahasa yaitu al-din (bahasa Arab dan Semit), religi/religio dalam bahasa Eropa[23]. Di samping itu, dikatakan pula bahwa berasal dari bahasa Sanskrit (Sansekerta)[24] yang tersusun atas dua kata yaitu “a” yang berarti “tidak” dan “gam” yang berarti “pergi”, sehingga agama dapat diartikan tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun temurun.[25] Kata al-din sendiri dalam bahasa Arab memiliki makna menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.[26] Agama juga dapat diartikan sebagai ajaran.[27] Sementara al-din dalam Bahasa Semit memiliki makna undang-undang atau hukum.[28] Dalam hal ini, agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum.[29] Sementara kata religi asal katanya yaitu relegere yang berarti mengumpulkan dan membaca. Dalam hal ini berarti agama mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca.[30] Tetapi juga ada yang mengatakanbahwa religi berasal dari kata religare yang memiliki arti ikatan[31] atau mengikat[32], yaitu ikatan yang menghubungkan manusia dengan kebenaran.[33] Sementara ciri yang ada pada agama adalah kitab suci yang terkodifikasi, adanya person yang mewakafkan totalitas untuk agama yang disebut dengan Nabi, dan adanya umat sebagai kenyataan sebagai penerima dan pelaksana kitab yang terkodifikasi tersebut.
Sementara pengertian agama dari segi istilah telah banyak dikemukakan oleh para ahli, di antara pendapat tersebut misalnya Emelle Durkheim. Ia mendifinisikan agama sebagai sistem kepercayaan dan praktik yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus[34] dan disatukan dalam dalam suatu komunitas moral yang disebut umat.[35] Agama juga dapat didefinisikan sebagai sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan yang Mahakuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian dengan pergaulan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan tersebut.[36] Ada juga yang mendifinisikan agama sebagai salah satu perantara yang mengatur kehidupan manusia dengan manusia maupun manusia dengan penciptanya. Sementara Harun Nasution mendefinisikan agama dengan beberapa definisi, salah satunya adalah pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.[37]
  1. Umat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “umat” diartikan sebagai penganut (pemeluk suatu agama), makhluk manusia.[38] Disebutkan pula dalam bahasa umat dalam bahasa arabnya adalah الشَّعْبُ وَالْجُمْهُوْرُ.[39]Selain itu, kata umat diartikan pula sebagai menuju, menumpu, dan meneladani.[40] Ada juga yang mengartikan kata tersebut dengan arti dasar asal, tempat kembali, kelompok, agama, postur tubuh, masa dan tujuan.[41] Pemberian arti tersebut didasarkan atas alas kata ummat yaitu أمّ – يؤمّ (ammayaummu), jamaknya adalah umam. Yang memiliki arti suatu golongan manusia, setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada seorang Nabi, misalnya umat Nabi Muhammad saw., dan setiap generasi manusia yang menjadi umat yang satu (ummatan wa>h}idah).[42]
Kemudian dari akar kata itu pula, lahirlah kata umm yang berarti “ibu” dan imam yang maknanya “pemimpin”. Karena seorang ibu dan seorang pemimpin merupakan teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.[43] Sedangkan pengertian secara istilah umat adalah himpunan manusiawi yang seluruh aggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu membantu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama.[44]
Dalam pengertian lain dijelaskan bahwa umat adalah kumpulan orang yang semua individunya sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan atas dasar kepemimpinan yang sama. Lebih jauh, penggunaan kata ummah ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Yang bersifat khusus, yaitu para penganut agama dan pengikut agama tertentu, seperti umat Islam, umat Muhammad saw. dan dapat pula bersifat umum, yaitu setiap generasi manusia adalah umat yang satu, dan sekalian bangsa manusia disebut umat manusia, tanpa batasan agama (aqidah).[45]
  1. Tah}li>li>
Tah}li>li> adalah bahasa Arab yang berarti membuka sesuatu atau tidak menyimpang sesuatu darinya[46] atau bisa juga berarti membebaskan,[47] mengurai, menganalisis.[48] Tafsir metode tah}li>li> (analisis) dijelaskan pula sebagai metode menafsirkan al-Qur’an berdasarkan susunan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf.[49] Dalam pemaparannya, tafsir metode tah}li>li> meliputi pengertian kosa, Munasāba (hubungan antara ayat), Sabab an-Nuzūl (kalau ada), makna global ayat, mengungkap kandungan ayat dari berbagai macam pendapat ulama yang tidak jarang berbeda satu dan lainnya.[50]
Tafsir metode tah}li>li> sendiri adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dari berbagai aspek yang terkandung di dalamnya serta mengungkap maknanya sesuai dengan keahlian atau kecenderungan para mufassir. Begitu pula dalam penulisan ini, menggunakan metode tah}li>li> dan berusaha mengkaji QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9 dengan mengungkap makna yang terkandung dalam ayat tersebut dengan melakukan pendekatan ilmu tafsir.
D.  Kajian Pustaka
Setelah melakukan penelusuran dan pembacaan terhadap berbagai karya ilmiah yang berkaitan dengan rencana penelitian di atas, penulis belum menemukan pembahasan tentang Kerukunan Antar Umat Beragama yang focus kajiannya QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9. Kegiatan dimaksudkan untuk menjelaskan skripsi ini belum pernah ditulis sebelumnya. Tulisan ini sudah dibahas namun berbeda dari segi fokus pembahasan dan pendekatan serta paradigma yang digunakan. Adapun literature yang terkain dengan judul skripsi ini adalah sebagai berikut.
Pertama, buku yang ditulis oleh Abuddin Nata, MA. Yang berjudul “Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy)”. Dalam buku tersebut beliau membahas salah satu sub bab yang berjudul Kerukunan Hidup Antar Umat Bergama. Pembahasannya tidak terfokus dalam satu bahasan ayat, dalam arti beliau membahas ayat-ayat yang berkaitan dengan kerukunan antar umat beragama, yaitu QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9, QS. Ali> ‘Imran/3: 118, QS. al-Ma>idah/5: 5, dan QS. al-Kafiru>n/109: 1-6 secara ringkas dan tidak berfokus pada satu pokok bahasan ayat, sementara dalam penelitian ini, peneliti berusaha mefokuskan kajian kerukunan antar umat beragama dengan berfokus pada QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9 dan tentunya tidak mengabaikan juga ayat-ayat lainnya.
Kedua, “Islam dan Pluralisme Agama: Dinamika Perebutan Makna”, buku yang ditulis oleh Dr. Ngainun Naim. Dalam buku tersebut terdapat pembahasan pada bab tiga Strategi Dimensi sub bab Kerukunan Antar Umat Beragama: Doktrin dan Sejarah. Dijelaskan dalam buku tersebut bahwa rukun bukan berarti tidak ada perbedaan. Dalam hal ini perbedaan merupkan hal natural, yang semestinya dijadikan modal menbangun kebersamaan, tidak untuk dipertentangkan, tapi untuk saling menghormati dan menghargai. Selanjutnya, hal tersebut dapat diwujudkan dalam hubungan manusia dengan manusia lain (hablun min al-na>s) yang tercermin dalam keadilan social.[51] Kaitannya dengan aspek ini, peneliti akan membahas lebih detail mengenai keadilan tersebut sehinggan dapat mewujudkan kerukunan.
Ketiga, “Harmoni di Negeri Seribu Agama: Membumikan Teologi dan Fikih Kerukunan”, buku yang ditulis oleh Abdul Jamil Wahab. Dalam buku tersebut terdapat sub bab yang membahas tentang teori kerukunan. Salah satu teorinya tersebut misalnya teori pendekatan fungsionalisme. Teori ini melihat bahwa masyarakat merupakan suatu struktur yang diatur oleh sistem, dan masing-masing komponen terintegrasi dengan fungsinya sendiri-sendiri.[52]
Keempat, “Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an”, buku yang oleh Abd. Moqsith Ghazali. Dalam buku tersebut terdapat penjelasan mengenai sikap terhadap pluralitas agama. Di antara sikap tersebut yaitu sikap eksklusif, sikap inklusif, dan paradigma pluralis.[53] Ketiga sikap ini dijelaskan pula tentang kelemahan dampak terhadap tiga sikap tersebut dalam penerapannya. Kaitannya dengan penelitian penulis, dalam pembahasan mengenai paradigma pluralis, dijelaskan sikap yang adil kepada kelempok agama lain atas dasar perdamaian dan saling menghormati, namun pembasan tentang sikap adil tersebut belum rinci dan tegas.
Kelima, “Pengantar Studi Islam”, buku yang ditulis oleh Didiek Ahmad Supadie. Dalam buku tersebut terdapat sub bahasan tentang kerukunan dan toleransi beragama yang menyangkut beberapa prinsip toleransi dan kerukunan, hanya saja prinsip-prinsip tersebut dilahirkan dari beberapa pemaknaan ayat dalam al-Qur’an tidak memfokuskan pada pemaknaan ayat tertentu sebagaimana dalam penelitian ini.
Keenam, “Sikap Keberagaman Masyarakat di Desa Buttu Batu Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang”, skripsi yang ditulis oleh Musik Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Alauddin Makassar, tahun 2011. Di mana dalam temuannya bahwa di Desa Buttu Batu tersebut sikap keberagaman dalam beribadah sangat baik, hal ini ditinjau dari kegiatan keagamaan yang dilakukannya senantiasa memperhatikan memperhatikan ajaran Islam dan kegiatan-kegiatan yang oleh ulama Islam yang berada dalam lingkungan Desa tersebut. Selain itu, salah satu pendukung yang amat penting adalah tersedianya sarana peribadatan dan pendidikan yang mengarahkan masyarakat tersebut karena sikap keberagaman yang baik.
Ketujuh, “Relasi Antarumat Beragama Islam dan Kristen di Desa Kendek Kecamatan Banggai Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah”, skripsi yang ditulis oleh Jufri, mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Alauddin Makassar, tahun 2009. Di mana dalam temuannya bahwa masyarakat di Desa tersebut yang terdiri atas beberapa penganut agama yang berbeda, terutama Islam dan kristen dapat hidup dalam satu wadah yang normal tanpa dilibatkan dengan issu-issu yang berbau SARA. Juga ikatan emosional antarsesama etnis Banggai menjadi salah satu faktor pendukung dalam menjalin kerja sama yang harmonis.
Oleh sebab itu, berdasarkan beberapa uraian kajian pustaka di atas, penelitian tentang kerukunan hidup antar umat beragama yang memfokuskan penelitian pada QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9 belum ada.
E.   Metodologi Penelitian
Penulis menguraikan dengan metode yang dipakai adalah penelitian yang tercakup di dalamnya jenis penelitian, beberapa metode, di antaranya metode pendekatan, metode pengumpulan data, metode pengolahan data, dan metode analisis data.
  1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini termasuk kedalam kategori penelitian kualitatif yaitu, berupa penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kualitatif yang dimaksudkan pada penelitian ini ialah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif ialah jenis penelitian kualitatif yang berupaya memecahkan pokok masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.[54]
Penelitian kualitatif deskriptif dalam metodologi penelitian tafsir ditujukan untuk mendeskripsikan makna kandungan suatu ayat. Pada umumnya jenis penelitian ini digunakan oleh mufassir yang mengkaji al-Qur’an dengan menggunakan metode tah{li>li.>[55] Dari  sini dapat dipahami bahwa  penelitian ini diupayakan untuk mendeskripsikan kerukunan hidup antar umat beragama melalui QS. al-Mutaha}nah/60: 8-9 dengan menguraikan berbagai sumber kepustakaan, baik berupa buku, jurnal, dan karya ilmiah lainnya  yang terkait dengan topik bahasan tersebut.
  1. Metode Pendekatan
Pendekatan berarti sebuah proses, perbuatan, cara mendekati sebuah obyek.[56] Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan tafsir (exegetical approach) karena teknik kerjanya lebih banyak bersentuhan dengan kitab-kitab tafsir serta penafsiran dari para ahli yang telah melakukan pengkajian tentang kerukunan antar umat beragama. Dengan pendekatan tersebut, penulis berusaha menganalisis setiap penafsiran atau pendapat yang ada kemudian memberikan analisis kritis serta mengambil intisari dari setiap tafsiran atau pendapat ulama yang selanjutnya dapat ditarik sebuah kesimpulan dari berbagai pendapat yang telah dipaparkan oleh para mufassir atau ahli.
  1. Metode Pengumpulan Data
Metode dalam mengumpulkan data, digunakan penelitian kepustakaan (library research), yakni menelaah berbagai macam referensi dan literature yang terkait dengan penelitian baik yang bersifat primer maupun yang bersifat sekunder. Untuk data yang bersifat primer dalam penelitian ini adalah al-Qur’an yang ditunjang dengan kitab-kitab tafsir (Tafsir al-Mishbah, Tafsir al-Maraghi, dan Tafsir Ibnu Katsir), sedangkan untuk data yang bersifat sekunder maka penulis menggunakan buku atau literatur yang berkaitan langsung dengan objek penelitian.
  1. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Agar data yang diperoleh dapat dijadikan sebagai pembahasan yang akurat, maka penulis menggunakan metode pengolahan dan analisis data yang bersifat kualitatif. Sesuai dengan langkah ini, maka metode analilsis data yang akan penulis tempuh adalah sebagai berikut.
a.       Deduktif, yaitu suatu metode yang penulis gunakan dengan bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum, kemudian dianalisis untuk ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
b.      Induktif, yaitu suatu metode yang penulis gunakan dengan jalan meninjau beberapa hal yang bersifat khusus kemudian diterapkan atau dialihkan kepada sesuatu yang bersifat umum.
F.   Tujuan dan Kegunaan
  1. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerukunan hidup antar umat beragama dalam QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9, yang akan dirincikan dalam bahasan.
a.       Menjelaskan esensi kerukunan hidup antar umat beragama.
b.      Menjelaskan wujud kerukunan dalam QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9.
c.       Menjelaskan syarat dan urgensi kerukunan dalam QS. al-Mumtah}anah/60: 8-9.
  1. Kegunaan
Kegunaan penelitian ini mencakup dua hal, yaitu:
a.       Kegunaan ilmiah, yaitu mengkaji dan membahas hal-hal yang berkaitan dengan judul skripsi ini, sedikit banyaknya akan menambah khazanah ilmu pengetahuan baik dalam kajian tafsir maupun dalam ilmu-ilmu sosial.
a.       Kegunaan praktis, yaitu dengan mengetahui kerukunan dalam al-Quran, bisa menjadi panduan setiap insan dalam menjalani kehidupan, khususnya hal-hal yang berhubungan langsung dengan interaksi kepada orang yang berbeda keyakinan/agama.



[1]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Ed. Revisi; Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 15.
[2]Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual (Bogor: al-Azhar Press, 2010), h. 53
[3]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 375.
[4]M. Galib M, Pluralitas Agama dalam Perspektif al-Qur’an: dari Toleransi ke Kerjasama (Cet. I; Makassar: Alauddin Universitas Press, 2014), h. 7.
[5]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya  (Bandung: Mizan, 2015), h. 518.
[6] QS. Hu>d/11: 118 dan QS. al-Ma>idah/5: 48
[7]QS. al-Baqarah/2: 213
[8]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 549-550
[9]M. Galib M, Pluralitas Agama dalam Perspektif al-Qur’an: dari Toleransi ke Kerjasama, h. 12 dan 16.
[10]A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: PT. Gunung Mulia, 2002), h. 15.
[11]Survey Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Ed. I; Cet. I; Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013), h. 1.
[12]Abd. Rahim Yunus, Damai dalam Islam: Perspektif Cita dan Fakta (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 80.
[13]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 332.
[14]M. Galib M, Pluralitas Agama dalam Perspektif al-Qur’an: dari Toleransi ke Kerjasama, h. 100.
[15]Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, ar-Rahi>q al-Makhtu>m terj.  Hanif Yahya dengan judul Perjalanan Hidup Rasul yang Agung: dari Kelahiran Hingga Detik-Detik Terakhir (Cet. XIV; Jakarta: Darul Haq, Sya’ban 1433 H/Juli 2012 M), h. 278.
[16]Wahbah al-Zuhaili, Haqqu>l Huriyah fi> al-A>lam diterjamahkan oleh Ahmad Minan dengan judul Kebebasan dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), h. 148.
[17]M. Galib M, Pluralitas Agama dalam Perspektif al-Qur’an: dari Toleransi ke Kerjasama, h. 100.
[18]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 551
[19]Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h. 989
[20]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, 2008), h. 1226.
[21]Said Agil Husain al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Cet. II; Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 4.
[22]Didiek Ahmad Supadie, dkk, Pengantar Studi Islam (Ed. Revisi; Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 54.
[23]Harun Nasution, Islam  Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI-Press, 1979), h. 9.
[24] Didiek Ahmad Sapadie , dkk., Pengantar Studi Islam, h. 35.
[25]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Ed. I; Cet. VI; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 9.
[26]Zainuddin Ali, Agama, Kesehatan, dan Keperawatan (Cet. I; Jakarta: CV. Trans Info Media, 2010), h. 7.
[27]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 18.
[28]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 9.
[29]\\Harun Nasution, Islam  Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, h. 9.
[30]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 10.
[31]Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam terj. Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, Islam Antara Cita dan Fakta (Cet. I; Yogyakarta:PUSAKA, 2001), h. 1.
[32] Harun Nasution, Islam  Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, h. 10.
[33]Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam terj. Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, Islam Antara Cita dan Fakta, h. 1.
[34]Didiek Ahmad Sapadie , dkk, Pengantar Studi Islam, h. 36.
[35]Zainuddin Ali, Agama, Kesehatan, dan Keperawatan (Cet. I; Jakarta: CV. Trans Info Media, 2010), h. 8-9.
[36]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 18.
[37]Harun Nasution, Islam  Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, h. 10.
[38]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1586
[39]Adib Bisri dan Munawwir AF, Al-Bisri: Kamus Indonesi- Arab Arab Indonesia (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), h. 16
[40]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 325
[41]Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur’an (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 72
[42]M. Quraish Shihab, dkk., Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 135
[43]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 325
[44]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 328
[45]Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur’an, h. 74
[46]Ahmad ibn Fāris ibn Zakariyā al-Qazwainī, Mu’jam Muqāyīs al-Lūgah, Juz V (Beirut: Dār al-Fikr, 1979 M/1399 H), h. 62
[47]Muhammad ibn Mukrim ibn ‘Alī Abū al-Fādl Jamāluddin ibn Manz}|u>r al-Ans}a>ri> al-Ifri>qī, Lisān al-‘Arab, Juz I (Beirut: Dār S}a>dir, 1414 H), h. 118
[48]M. Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan ‘Ulumu al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 172
[49]Kadar M. Yusuf, Studi al-Qur’an (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2012), h. 137
[50]M. Quraish shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), h. 378. Liha pula Muhammad Yusuf, Horizon Kajian al-Qur’an: Pendekatan dan Metode (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2013), h. 29-30
[51] Ngainun Naim, Islam dan Pluralisme Agama: Dinamika Perebutan Makna (Cet. I; Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014), h. 124-125
[52]Abdul Jamil Wahab, Harmoni di Negeri Seribu Agama: Membumikan Teologi dan dan Fikih Kerukukunan (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015)
[53]Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (Cet. II; Depok: KataKita, 2009), h. 54-62
[54]Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Cet. IV; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1990), h.  63.
[55]Abd. Muin Salim, dkk,  Metodologi Penelitian Tafsir Maudu>’i (Makassar: Alauddin Press, 2009), h. 28. 
[56]Abd. Muin Salim, dkk., Metodologi Penelitian Tafsir Maudhu>’i>, h. 98

Komentar

  1. Did you realize there's a 12 word sentence you can tell your man... that will trigger intense feelings of love and instinctual attractiveness to you deep within his chest?

    That's because deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, adore and care for you with his entire heart...

    12 Words Who Trigger A Man's Desire Impulse

    This instinct is so hardwired into a man's brain that it will make him work better than ever before to love and admire you.

    Matter-of-fact, fueling this powerful instinct is so binding to having the best ever relationship with your man that as soon as you send your man one of the "Secret Signals"...

    ...You will instantly notice him expose his mind and soul to you in a way he never expressed before and he will distinguish you as the one and only woman in the world who has ever truly tempted him.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karakteristik dan Kualitas Tafsir Tabi'in

JAWABAN LATIHAN 3.2 PELATIHAN ANTI PERUNDUNGAN (ANTI-BULLYING) DAN KEKERASAN TERHADAP MURID DI PINTAR KEMENAG

Kewajiban Berdakwah Bagi Setiap Individu dan Kelompok