pemahaman hadis Nabi sallallahu'alihi wa sallam (saw.)
TUGAS MAKALAH MA’AN AL-HADIS
“PEMAHAMAN HADIS NABI SECARA KONTEKS DILIHAT DARI SEGI NABI SEBAGAI
SUBYEK HADIS”
OLEH:
ARLAN
30300113056
JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDIN, FILSAFAT, DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
KATA PENGANTAR
بسم الله الر حمن الر حيم
Alhamdulillah,
segala puji dan syukur hanya milik Allah karena atas limpahan rahmat dan
karunianya yang diberikan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan tugas
makalah yang diberikan oleh dosen Pembimbing maka kuliah “Ma’an al-Hadis”. Salawat dan taslim semoga tetap tercurah kepada
Nabi Allah Muhammad saw. yang diutus oleh Allah sebagai rahmatan lil’amin bagi
seluruh umat manusia, hanya saja ada sebagian besar yang ingkar akan kenabian
dan kerasulannya, karena beliaulah yang telah membawa umat dari keadaan yang
jahiliyyah menuju keadaan yang akhlaknya dapat dibilang akhlak yang baik lagi
mulia.
Terimah
kasih pula kepada para pengarang buku yang telah penulis jadikan sebagai
referensi dalam pembuatan makalah ini, dan semoga dibalas oleh Allah dengan
kebaikan pula. Juga kepada dosen pembimbing yang memberikan tugas yang berjudul
“Pemahaman Hadis Nabi Secara Kontekstual Dilihat dari Segi Nabi Sebagai
Subyek”, sehingga dari tugas ini paling tidak penulis telah mengambil informasi
tentang pemahaman hadis secara kontekstul.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis sadar bahwa masih banyak terdapat kekurangan
dalam pembahasannya.Untuk itu, kritik dan saran dari siapa saja yang membaca
karya ini, demi perbaikan karya-kaya dalam bentuk makalah yang selanjutnya.
Samata, 18 Mei 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Salah satu
peninggalan Rasulullah saw. adalah yang kita kenal denga namanya hadis. Atau
kemudian dikenal pula bahwa nama lain dari hadis itu adalah sunnah, khabar, dan
atsar[1].
Menurut jumhur ulama hadis apakah itu hadis, sunnah, khabar, atau atsar dapat
digunakan untuk maksud yang sama. terlepasa dari perbedaan penamaan hadis
tersebut, yang paling penting adalah hadis terdiri dari beberapa kategori,
yaitu berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, dan perjalan
hidup Nabi, yang kemudian sangat menentukan bagi kita umat dalam kehidupan
keseharian kita.
Hadis sebagai
sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Quran[2].
Diakui oleh hampir seluruh umat Islam, hanya kelompok kecil umat islam yang
menolak hadis sebagai sumber ajaran Islam yang dikenal dengan sebutan inkar
as-sunnah. Dikatakan sebagai hukum Islam yang kedua bukan hanya menyangkut
persoalan hukum saja melainkan keseluruhan aspek kehidupan manusia, baik di
dunia maupun di akhirat kelak[3].
Hadis Nabi juga
merupakan sumber kerahmatan, sumber keteladanan, dan atau sumber ilmu
pengetahuan. Dalam hal menyampaikan hadis, menurut petunjuk al-Quran, Nabi
Muhammad selain dinyatakan sebagai Rasulullah, juga dinyatakan sebagai manusia
biasa. Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad berperan dalam banyak fungsi, antara
lain sebagai Rasulullah, kepala Negara, pemimpin masyarakat, panglima perang,
hakim, dan pribadi. Kalau sudah seperti itu, maka hadis dapat diterjemahkan
sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi mengandung petunjuk yang pemahaman dan
penerpannya perlu dikaitkan juga peran Nabi tatkala hadis tersebut terjadi[4].
Misalnya,
penyataan tentang Nabi Muhammad sebagai beberapa fungsi di atas, dinyatakan
al-Quran dalam beberapa tempat, seperti dalam QS. al-Kahfi ayat 110 berikut.
“artinya:
katakanlah: sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: “bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. “barang
siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya.”
Selanjutnya,
dinyatakan pula fungsi Nabi Muhammad, misalnya dalam QS. ‘Ali Imran ayat 144
berikut.
“artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
member balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Pada dua ayat
di atas, memberikan kita informasi bahwa ayat pertama dengan jelas Nabi
Muhamamad menyatakan dirinya sendiri sebagai seorang manusia atas perintah
Allah SWT. Semantara ayat kedua Allah sendiri yang menegaskan bahwa Nabi
Muhammad itu adalah seorang Rasul. Nah, kalau sudah seperti ini, berarti dapat
kita ambil kesimpulan bahwa Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul ternyata dia
juga sebagai manusia biasa, dan lain sebagainya. Jika demikian yang terjadi
maka hadis Nabi dapat digolongkan dalam beberapa kelompok berdasarkan fungsi
Nabi Muhammad tatkala ia menyampaikan hadis. Nah, ini yang kemudian akan
menjadi topic pembicaraan dalam pembahasan makalah ini.
- Rumusan Masalah
Adapun yang
menjadi rumusan masalah pembahasan makalah ini adalah dalam fungsi apa saja
Nabi Muhammad dalam menyampaikan hadis.
- Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
penulisan dalam pembahasan makalah ini adalah untuk mengetahui fungsi-fungsi
Nabi Muhammad dalam menyampaikan hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara garis besar, tipologi pemahaman hadis terhadap hadis dapat
diklarifikasikan menjadi dua kelompok[5],
yaitu pertama, tekstualis yakni pemahaman hadis secara tekstual
tanpa mempertimbangkan proses panjang sejarah pengumpulan hadis dan proses
pembentukan ajaran ortodoksi. Kedua, kontektualis, yakni
pemahaman hadis yang berangkat dari asumsi hadis sebagai sumber ajaran Islam
melalui kritik-historis terhadap sanad dan matan dengan mempertimbangkan asbab
al-wurud hadis tersebut.
Taha Jabir al-‘Alwani pemahaman tersebut berdasarkan beberapa faktor
berikut. Pertama, perbedaan pemahaman terhadap hadis Nabi yang
dikaitkan dengan historis dan posisi yang diperankan Nabi sebagai Rasul,
pemimpin nagara, hakim, panglima perang, atau manusia biasa; Kedua,
pendekatan latar syarh al-hadis menjadikan penekanan kajian sesuai latar
yang ditekuni. Apakah dia fuqaha, filofof, sosiologi, atau lainnya; Ketiga,
keberadaan hadis Nabi dalam bentuk teks, yakni berubahnya budaya realitas
(qaul, fi’li, dan taqrir Nabi) ke dalam budaya lisan (hadis-hadis dalam
hafalan sahabat) dan selanjutya menjadikan budaya tulis (teks-teks hadis
yan telah terkodifikasi dalam kitab-kitab hadis); Keempat,
pemahaman terhadap hadis yang terkait dengan al-Qur’an[6].
Begitu pun Muhammad Awwamah, mengemukakan bahwa perbedaan pemahaman
hadis dikalangan para ulama dikarenakan beberapa faktor[7].
Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah yang pertama, terkait dengan
pertanyaan “bilakah” sebuah hadis dipandang layak untuk diamalkan, hal ini
terkait dengan shahih da dha’ifnya hadis dalam pengamalan. Kedua, terkait dengan
pertanyaan “bagaimanakah” para ulama memahami hadis. Dalam halam hal ini,
memahami hadis beberapa cara, yaitu secara tektual, kontektual, intertekstual.
Adapun penulis dalam makalah ini akan menguraikan pemahaman secara kontekstual
dari salah satu aspek. Ketiga, berkaitan dengan perbedaan cara
dan metode ulama dalam menyikapi hadis-hadis yang tampak dari luar saling
bertentangan. Keempat, ketidaksetaraan para ulama dalam mendalami
sunnah Nabi saw.
- Pengertian Pemahaman Kontekstual
Secara bahasa,
term “kontekstual” berasal dari kata benda bahasa inggris conteks yang berarti;
1). Bagian dari teks atau pernyataan yang meliputi kata atau bagian tertulis
tertentu yang menetukan maknanya; 2). Situasi dimana suatu peristiwa itu
terjadi[8].
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna konteks yaitu: 1). Bagian
sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna;
2). Situasi yang ada hubungannya dengan kejadian[9]. Kedua
arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman
hadis.
Menurut Noeng
Muhadjir, term kontekstual mengandung tiga pengertian, yakni; 1). Upaya
pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya
mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situasional. 2). Pemaknaan
yang melihat keterkaitan masa lalu, masa kini dan masa mendatang, dimana
sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis dulu, makna fungsional saat ini,
dan memprediksikan makna yang dianggap releva dalam masa kini; 3). Mendudukan
keterkaita antara yang sentral dan periferi, dalam arti yang sentral adalah
teks hadis dan yang periferi adalah terapannya[10].
Dengan
demikian, teknik interpretasi kontekstual adalah teknik pemahaman hadis yang
berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latarbelakan sejarah, sosiologi,
antropologi yang berlaku dan berkembang ketika hadis itu disabdakan oleh Nabi
saw. dengan kata lain, persolan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaiamana
teks itu hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, diinterpretasikan,
diterjamahkan, dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas social dewasa
ini[11].
Jadi, interpretasi
hadis secara kontekstual berarti cara menginterpretasikan atau memahami
terhadap matan hadis dengan memperhatikan asbab al-wurud (konteks di masa
Rasul; pelaku sejarah, peistiwa sejarah, waktu, tempat, dan atau bentuk
peristiwa) dan konteks kekinian (konteks masa kini)[12].
Dalam filsafat ilmu dinamakan dengan ontologi[13].
Yang dimaksud dengan ontologi adalah kandungan hadis, seperti ‘aqidah,
syari’ah, mu’amalah, aqhlak, sejarah[14].
Atinya, memahami hadis secara kontekstual dapat dinamakan dengan ontologi.
Sedangkan
menurut Edi Safri, memahami hadis secara kontekstual yaitu memahami hadis-hadis
Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa
atau situasi yang melatar belakangi munculnya hadis-hadis tersebut atau dengan
kata lain dengan memperhatikan dan menkaji konteksnya[15].
Atau dalam
versi lain, dikatakan pula bahwa pemahaman kontekstual merupakan pengambilan
informasi atau pesan yang tidak hanya cukup dengan apa yang tersurat pada teks
hadis saja, sehingga perlu dilakukan penggalian informasi dan pesan pendukung
lain dari luar teks tersebut sehingga dapat menyempurnakan informasi atau pesan
yang diharapkan oleh sang mukallim (Nabi saw.)[16].
- Pemahaman Hadis Nabi Sebagai Subyek
Seperti yang
telah dibahasakan sebelumnya bahwa Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan hadis
tidak berperan sebagai utusan, tapi banyak kedudukan. Dalam hal ini menurut
Mahmud Syaltut, mengetahui tingkah laku Nabi saw. dengan mengaitkan pada fungsi
Nabi tatkala beliau melakukan sangat besar manfaatnya[17].
Ulama yang pertama kali memahami kandungan hadis Nabi dengan menghubungkan
fungsi Nabi saw. adalah Imam Syihab al-Din al-Qarafi (w. 694 H.) dalam kitabnya
yang berjudul “al-Furuq”. Dalam kitab tersebut, al-Qarafi melakukan kajian
tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah saw. beserta perbedaan kondisinya
antara beliau sebagai pemimpin, hakim, dan pemberi fatwa atau penyampai ajaran
dari Allah SWT. Hal itu berpengaruh pada keumaman hukum dan kekhususan,
keuniversalan atau kontemporerannya[18].
Sementara itu,
sebagian ulama menyatakan bahwa contoh hadis Nabi yang berhubungan dengan fungsi
Nabi sebagai Rasul adalah berbagai penjelasan tentang kandungan al-Quran,
berbagai pelaksanaan ibadah, dan penetapan hukum halal dan haram. Ketiga contoh
tersebut masih diperselisihkan. Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam
kapasitas beliau sebagai Rasul, ulama sepakat untuk menyatakan kewajiban
mematuhinya.
Untuk hadis
yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai kepala Negara,
misalnya pengiriman angkatan perang dan pemungutan dana dan untuk bait al-mal,
kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi syari’at
yang bersifat umum. Berikut, akan dijelaskan beberapa contoh hadis Nabi saw.
dalam beberapa kapasitas atau fungsi Nabi saw.
- Muhammad saw. sebagai Rasul dan sebagai manusia biasa
Sebagian hadis
Nabi saw. ada yang berkaitan dengan kedudukan Nabi saw. sebagai Rasul sekaligus
basyar/manusia biasa.
Di antara hadis
Nabi saw. yang memposisikannya sebagai Rasul dan basyar adalah hadis tentang
Nabi juga makan, menikah, dan seterusnya, misalnya hadis berikut[19].
حَدَّثَنَا
سَعِيْدُ بن ابى مَرْيَم أجبرنا محمد بن جَعْفَرٍ أخبرنا حُمَيْدُ بن ابى حُمَيْدٍ
الطَّوِيْلُ أَنَّهُ سَمِعَ انس بن مالك رضي الله عنه يقول: جَاءَ ثَلَاثَةُ
رَهْطٍ إلى بُيُوتٍ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَسْأَلُونَ عن
عِبَادَةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ
تَقَالُوهَا فَقَلُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَدْ
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ من ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قال أَحَدَهُمْ أَمَّا
أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا وَقال اخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ
وَلَا أُفْطِرُ وَقَالُ اخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءِ فَلَا أَتَزَوَّجُ
أَبَدًا فَجَاءَ رسول الله صلى الله عليه وسلم إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمُ
الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللهِ إِنِّى لَأَ خْشَا كُمْ لَهُ
لَكِنَّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءِ
فَمَنْ رَغِبَ عن سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنَّى
Artinya: al-Bukhariy berkata: telah mencerikatakan kepada kami
Sa’id bin ‘Amir Abu Maryam telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far
telah mengabarkan kepada kami Humaid bin Abu Humaid al-Thawil bahwa ia
mendengar Anas bin Malik ra. berkata: ada tiga orang mendatangi rumah
isteri-isteri Nabi saw. bertanya tentang ibadah Nabi saw. dan setelah
diberitakan kepada mereka, sepertinya meraka merasa hal itu masih sedikit bagi
meraka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah
saw., bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang
akan datang?” salah seorang dari mereka berkata, “sungguh, aku akan shalat
malam selama-lamanya”. Kemudian yang berkata, “kalau aku, maka sungguh, aku
akan berpuasa al-dahar (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang
lain berkata, “aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”.
Kemudian datanglah Rasulullah saw. kepada mereka seraya berkata: “kalian berkata
begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang paling takut kapada
Allah di antara kalian, dan juga paling bertaqwa. Aku berpuasa dan juga
berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barang siapa yang
benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku”.
Hadis di atas
memberikan kita pelajaran agar senantiasa menigkatkan amal ibadah tampa harus
mengorbankan hak-haknya sebagai manusia biasa/basyar. Karena pada dasarnya Nabi
saw. juga melakukan hal yang sama padahal dialah manusia yang paling bertaqwa
di sisi Allah SWT. bahkan, hal ini pun senada dengan QS. al-Kahfi (18) ayat 110
dengan jelas mengungkapkan bahwa Nabi saw. sama dengan manusia lainnya.
Perbedaanya hanya terletak pada posisi Nabi saw. yang menerima wahyu dari Allah
SWT. ayat tersebut adalah sebagai berikut.
“artinya: katakanlah: sesungguhnya aku ini
manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “bahwa sesungguhnya Tuhan
kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barang siapa mengharap penjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS al-Kahfi: 110)
- Muhammad sebagai Nabi dan Rasulullah saw.
Ada banyak
hadis Nabi, bahkan kalangan umat Islam berpendapat bahwa hadis Nabi adalah
berkaitan dan berkaitan dengan kedudukan Nabi saw. sebagai Rasul. Salah satu
hadis yang berbicara tentang posisi Nabi saw. sebagai Rasul adalah tentang
lukisan[20],
sebagai berikut.
حدثنا
الحُمَيْدِيُّ حدثنا سُفْيَانُ حدثنا الْأَعْمَشُ عن مُسْلِمٍ قَالَ كُنَّا مَعَ
مَسْرُوقٍ فِى دَارِ يَسَارِ بن نُمَيْرٍ فَرَأَى فِى صُفَّتِهِ تَمَا ثِيْلَ
فَقَالَ سَمِعْتُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يقول إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ
عَذَابًا عِنْدَ الله يَوْمَ القِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
Artinya: “al-Bukhariy berkata: telah menceritakan kepada kami
al-Humaidi telah menceritakan kapada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami
al-A’masy dari Muslim dia berkata ”kami bersama Masruq berada di rumah Yasar
bin Numair, lantas dia melihat patung di dalam (gambar) patung rumahnya, lantas
Masruq berkata “saya pernah mendengar Abdullah berkata, saya mendengar Nabi
saw. bersabda: “sesungguhnya orang-orang yang paling keras siksaannya di sisi
Allah pada hari kiamat adalah orang yang suka menggambar”.
Berbagai hadis
Nabi yang berisi larangan melukis dan memajang makhluk bernyawa itu dinyatakan
dalam kapasitas beliau sebagai Rasul. Hal ini diakibatkan dalam hadis tersebut
dikemukakan berita tentang nasib masa depan para pelukis di hari kiamat kelak.
Dengan demikian, hadis yang mengandung berita masa depan di hari kiamat dapat
dijadikan sebagai salah satu indicator sebuah hadis dinyatakan oleh Nabi saw.
dalam kapasitas beliau sebagai Rasul.
Hadis Nabi di
atas, perlu dipahami secara kontekstual. Pasalnya, larangan melukis dan
memajang lukisan yang dikemukakan oleh Nabi itu sesungguhnya mempunyai latar
belakang hokum (‘illat al-hukm). Di mana pada zaman Nabi, masyarakat belum lama
terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah. Sebagai Rasulullah, Muhammad saw.
berusaha keras agar umat Islam terlepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu
caranya adalah mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan.
Kalau illat
al-hukm-nya demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan
terjerumus ke dalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap
lukisan, membuat, dan memajang lukisan tentu diperbolehkan. Hal tersebut
diperkuat oleh kaidah ushul fiqh[21]:
الحكم يدور مع
علته وجودا وعدما
Maksudnya, hukum itu ditentukan oleh ‘illat-nya, bila ‘illat-nya
ada maka hukunya tetap dan bila ‘illat-nya tidak ada maka hukunya pun berubah.
Sementara itu,
pemahaman secara tekstual dapat saja menimbulkan ekses. Misalnya, lukisan
dilukis pada saat masyarakat berkeyakinan bahwa menyembah patung ialah musyrik,
namun pada tempat lain atau tatkala sikap masyrakat telah berubah pada saat
lukisan itu disembah. Kalau demikian kejadiannya, apakah pelukisnya terlepas
dari tanggung jawab atas penyembahan terhadap lukisan itu? Yang salah memang
orang menyembah lukisan itu, tepi bagaimanapun juga sang pelukis tidak dapat
mengelak dari tanggung jawab.
Dalam kasus
demkian, sulit menghindari pemahaman tekstual, meskipun ada jalan untuk
memahaminya secara kontekstual. Dengan demikian, hadis Nabi yang dinyatakan
dalam kedudukan beliau sebagai Rasul, di samping dapat dipahami secara tekstual
juga dapat dipahami secara kontektual.
Contoh hadis
lain yang disampaikan oleh Nabi saw. dalam kapasitasnya sebagai Rasul hadis
tentang keutamaan Nabi Muhammad sendiri[22],
sebagai berikut.
أَخْبَرَنَا
جَابِرُ بْنُ عَبْدِ الله أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أُعْطيِتُ
خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلى نُصرْتُ بالرُّعْب مَسيرَة شَهْر وَجُعلَتْ
لىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُّورًا فَأَيُّمَا رَجُل مِنْ أُمَّتى أَدْرَكَتْهُ
الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحلّت لىَ الْمَغَانمُ وَلَمْ تَحلّ لأَحَد قَبْلِى
وَأُعْطيتُ الشّفَا عَةَ وَكَانَ النَّبيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمه خَاصَّةً وَبُعثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه
الجماعة)
“artinya:
Jabir telah menceritakan bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “saya dikaruniai
(oleh Allah) lima macam hal, yang (kelimanya) belum pernah dikaruniakan kepada
selai saya, saya ditolong (dalam peperangan, sehingga) perasaan musuh (dalam
peperangan) menjadi gentar (menhadapi saya) dalam masa peperangan yang memakan
waktu sekitar sebulan; bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan suci bagi saya
dan karenanya, siapa saja dari umatku yang mendapatkan waktu shalat, maka
hendaklah dia shalat (di bumi mana saja dia berada); dihalalkan bagi saya harta
rampasan perang, sedang sebelum saya harta tersebut diharamkan; saya dikaruniai
kemampuan member syafa’ah; dan Nabi (sebelum saya) dibangkit untuk kaum
(bangsa) tertentu, sedangkan saya dibangkit untuk manusia secara umum
(seluruhnya)”. (HR. Jama’ah)
Secara
tekstual, hadis tersebut memberi informasi tentang lima keutamaan Nabi Muhammad
dibandingkan dengan para Nabi sebelumnya. Pernyataan tersebut bersifat
universitas. Nabi Muhammad tatkala menyampaikan pernyataan itu berada dalam
kapasitasnya sebagai Rasulullah sebab informasi yang beliau sampaikan tidak
mungkin didasarkan atas pertimbanga rasio, tetapi semata-mata didasarkan atas
petunjuk wahyu Allah[23].
Pertimbangan yang demikian itu tidaklah berarti bahwa dalam fungsi Nabi saw.
sebagai Rasulullah, pertimbangan rasio tidak dikenal sama sekali[24].
Dengan demikian, salah satu indicator sebuah hadis Nabi dinyatakan oleh Nabi
saw. dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah adalah hadis bersangkutan tidak
mungkin atau sulit didasarkan atas pertimbangan rasio, tetapi semata-mata atas
petunjuk wahyu Allah.
- Muhammad sebagai Basyar
Di samping
Muhammad saw. sebagai Rasul, terkadang suatu hadis dinyatakan Nabi saw. dalam
kapasitasnya sebagai basyar atau manusia biasa, baik sebagai pemimpin umat,
panglima perang, qadhi, suami, bapak, maupun secara pribadi. Misalnya, hadis
tentang menghadapi orang yang bertengkar[25],
sebagai berikut.
حدثنا عبد
العزيز بن عبد الله قال حدثني إبرهيم بن سّعْدٍ عن صَالِحٍ عن ابن شِهَابٍ قال
أخبرني عُرْوَةُ بن الزُّبَير أَنَّ زينب
بِنْتَ أُمَّ سَلَمَةَ رضى الله عنها زَوْجَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
أخبرتها عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ سَمِعَ خُصُوْمَةً بِبَابِ
حُجُرَتِهِ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَألَ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّهُ يَأْتِيْنِب
الْخَصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُوْنَ أَبْبَغَ مِنْ بَعْضٍ فَأَ حْسِبُ
أَنَّهُ صَدَقَ فَأَ قْضِيَ لَهُ بِذَلِكَ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ
فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنْ النَّارِ فَلْيَأْخُزْهَا أَوْ فَلْيَتْرُكْهَا
“artinya:
al-Bukhariy berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abdullah
berkata, telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Sa’ad dari Shalih dari Ibnu
Syihab berkata, telah menceritakan kepadaku ‘Urwah bin al-Zubair bahwa Zainab
binti Ummu Salamah ra. isteri Nabi saw. mengabarkan kepadanya dari Rasulullah
saw. bahwa beliau mendengar dari balik balik pintu rumah beliau ada
pertengkaran lalu beliau keluar menemui mereka kemudian bersabda: “aku ini
hanyalah manusia biasa dan sesungguhnya pertengkaran seringkalai dilaporkan
kepadaku. Dan bisa salah seorang di antara kalian lebih pandai bersilat lidah
daripada lainnya, lalu aku menganggap ia benar kemudian aku berikan kepadanya
sesuai pengakuannya itu. Maka, siap yang aku putuskan menang dengan mecederai
hak seorang muslim, berarti itu adalah potongan dari api neraka. Karena itu
hendaklah dia ambil atau ditinggalkannya”.”
Hadis tersebut
di atas, member petunjuk atas pengakuan Nabi saw. sebagai manusia biasa dan
hakim. Dalam melakukan kedua tugas itu, Nabi mengaku memiliki kekurangan[26],
mungkin saja dapat dikelabui oleh kepintaran pihak yang berperkara dalam
mengemukakan argument untuk memenagkan perkaranya, walaupun sesungguhnya apa
yang dikatakannya itu tidak benar.
Dalam hal ini
bahwa, apa yang berlaku bagi hakim sebagaimana hadis di atas yang dikemukakan
oleh Nabi saw. bersifat universal. Akan tetapi, keputusan yang ditetapkan oleh
hakim di satu segi mungkin bersifat universal, temporal ataupun loka, dengan di
segi lain, keputusan hakim itu mungki benar dan mungkin tidak benar. Kesalahn keputusan
hakim terjadi mungkin karena karena keterangan yang disampaikan oleh pihak yang
berperkara tidak benar dan mungkin karena kesalahan hakim dalam berijtihad.
Dengan demikian, hadis Nabi di atas dinyatakan oleh Nabi saw. dalam kapasitas
beliau sebagai hakim atau manusi biasa.
Contoh lain
tentang kapasitas Nabi saw. sebagai basyar atau manusia biasa adalah hadis
tentang ibadah Nabi saw. berikut[27].
حدثنا أَبُو نُعَيْمٍ
قال حدثنا مِسْعَرُ عن زِيَادٍ قال سَمِعْتُ الْمُغِيْرَةَ رضى الله عنه يقول إِنْ
كَانَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَيَقُوْمُ لِيُصَلِيَ حَتَّى تَرِمُ
قَدَمَاهُ أَوْ سَاقَأةُ فَيُقَالُ لَهُ فَيَقُوْلُ أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا
شَكُورَ
“artinya:
al-Bukhariy berkata: telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim berkata, telah
menceritakan kepada kami Mis’ar dari Ziyad berkata, aku mendengar al-Mugirah
ra. berkata, “ketika Nabi saw. bangun untuk mendirikan shalat (malam) hingga
tampak bengkak pada kaki atau betis, beliau dimintai keterangan tentangnya.
Maka beliau menjawab: “apakah memang tidak sepatutnya aku menjadi hamba yang
bersyukur”.”
Jika hadis
tersebut di atas dipahami secara tekstual maka pemahamannya adalah setiap umat
Islam diharuskan bangun malam untuk beribadah kepada Allah hingga kakinya
bengkak, namun di sisi lain, Rasulullah saw. tidak memperkenankan umatnya
memaksakan diri dalam beribadah melebihi kemampuannya sebagaimana hadis riwayat
al-Bukhariy dan Muslim dengan sabdanya berikut[28].
ما نهيتكم عنه
فا جتنبوه وما أمرتكم به فافعلوا منه ما استطعتم
“artinya:
apa yang aku larang maka jauhilah oleh kalian dan apa yang aku perintahkan maka
laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian”.
Begitu juga
Allah dalam QS. al-Baqarah/2:195 melarang hamba-Nya mencederai dirinya sendiri
dalam bentuk apapun, sebagai berikut.
“artinya: dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
(QS. al-Baqarah/2: 195)
Dengan
demikian, ibadah yang dilakukan Nabi saw. hingga kakinya bengkak merupakan
keinginan pribadi Nabi saw. sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah SWT.
yang telah memberikan banyak nikmat dan karunia kepadanya. Sehingga apa yang
dilakukan Nabi saw. tidak harus ditiru oleh sahabat dan umatnya. Indicator
kapasitas Nabi. Saw. sebagai basyar/pribadi dalam hadis tersebut adalah kalimat
terakhir sebagai عبد (hamba).
Contoh hadis
lain yang dapat dikategorikan sebagai aspek basyar beliau yang menonjol adalah
hadis berikut[29].
عن عُبَادِ بن
تَمِيْمٍ عن عَمَّهِ (عَبْدِ الله بن زَيْدٍ) أَنَّهُ رَأَى رسولَ الله صلى الله
عليه وسلم مُسْتَلْقِيًا فِى الْمَسْجِدِ وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى
الأُخْرَى (رواه البخارى ومسلم و أحمد)
“artinya:
(hadis riwayat) dari ‘Ubad bin Tamim dari pamannya (‘Abdullah bin Zaid)
bahwasannya dia telah melihat Rasulullah saw. berbaring di dalam mesjid sambil
meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain” (HR. al-Bukhariy, Muslim, dan
Ahmad)
Secara
tekstual, hadis di atas menunjukan bahwa cara Nabi saw. berbaring dalam posisi
meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. Jika aplikasi pemahaman
secara tekstual tersebut diberlakukan secara universal, maka terdapat beberapa
kondisi yang menyulitkan seseorang dapat berbaring atau tidur dengan nyaman.
Oleh sebab itu, perbuatan itu dilakukan oleh Nabi saw. dalam kapasitas beliau
sebagai pribadi[30].
Ada kalangan berpendapat bahwa salah satu hikmah tidur dalam posisi meletakkan
kaki di atas kaki yang lain atau dalam keadaan miring dan menghadap kiblat
karena sesuai dengan arah peredaran bumi. Namun, pendapat ini menurut Prof. Dr.
Arifuddin Ahmad, M.Ag. kurang tepat karena bagi mereka yang berada di bagian
utara, selatan, atau barat Ka’bah pastilah berbeda dengan posisi yang berada di
bagian timur Ka’bah, sehingga posisinya tidak searah dengan peredaran bumi[31].
Contoh hadis
lain yang dikeluar Nabi saw. dalam kapasitasnya sebagai basyar adalah hadis
tentan Nabi sebagai pemimpin atau kepala nagara, seperti hadis berikut.
عَنْ ابْن عُمَرَ رضى الله عنهما عن النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
قَالَ يَزَالُ هَذَا الأَمْرُ فِى قُرَيْش مَا بَقَى منْهُمُ اثْنَان. (رواه
البخاري و مسلم و أحمد)
“artinya: (hadis riwayat) dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah
saw. bersabda: “dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini,
orang Quraisy selalu (memjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun
tinggal dua oran saja”.” (HR. Bukhariy, Muslim, dan Ahmad)
Juga hadis
berikut:
أَبَا بَرْزَةَ يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ
الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ إِذَا اسْتُرْحِمُوا رَحِمُوا وَإِذَا عَاهَدُوا
وَفَوْا وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ
فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ والْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ. (رواه أحمد)
“artinya: Abu Barzah memarfu’kanhadis kepada
Rasulullah saw., sabdanya: pemimpin itu dari suku Quraisy. Pada segi-segi
mereka dituntut untuk berlaku santun, maka mereka berlaku santun; dan kalau
mereka menjadi hakim, maka mereka berlaku adil; kalau mereka berjanji, mereka
penuhi. Kalau ada dari kalangan mereka yang tidak berlaku demikian, maka orang
itu memperoleh laknat dari Allah, para malaikat, dan umat manusia seluruhnya.”
(HR. Ahamad)
Apabila
kandungan hadis-hadis di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapat
dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan, Nabi berada dalam
fungsinya sebagai kepala Negara atau pemimpin masyarakat[32]. Yang
menjadi indikasi (qarinah) antara lain adalah ketetapa yang bersifat primordial,
sangat mengutamakan suku Quraisy[33].
Hal ini tidak sejalan dengan, misalnya, petunjuk al-Qur’an yang menyatakan
bahwa yang paling utama di sisi Allah adalah yang palin bertakwa. Mengutamakan
suku Quraisy memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang dibawa olah Nabi.
Artinya bahwa hadis-hadis tersebut dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat
temporal.
Menurut
Ibnu Khaldum (732-808 H/1332-1406 M), hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya,
melainkan kepada kemampuan dan kewibawaannya. Pada masa Nabi, orang yang
memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya
adalah dari kalangan Quraisy. Apabila suatu masa orang yang bukan suku Quraisy
memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, maka ia dapat ditetapkan
sebagai pemimpin, termasuk kepala Negara[34].
Dalam
sejarah, pemahaman secara tekstual terhadap hadis-hadis di atas dan yang
semakna dengannya telah menjadi pendapat umum, dan karenanya menjadi pegangan
para penguasa dan umat Islam selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa
hadis-hadis tersebut dikemukan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai
Rasulullah dan berlaku universal[35].
Misalnya, al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) berpendapat bahwa kepala Negara
disyaratkan harus dari suku Quraisy. Sekiranya pada suatu saat orang yang
bersuku Quraisy tinggal satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala
Negara[36].
Ibnu
Hajar (w. 852/1449 M) denga mengutip pandangan ulama menepis kenyataan sejarah
bahwa telah ada penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah, padahal
mereka bukanlah dari suku Quraisy, mengatakan bahwa sebutan khalifah tersebut
tidak dapat diartikan sebagai kepala Negara (al-Imamah al-‘Uzhma). Bahkan,
tidak seorang pun, kecuali dari kalangan Mu’tazilah dan Khawarij, yang
membolehkan jabatan kepala Negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari
suku Quraisy[37].
Dengan
demikian, pemahaman terhadap hadis yang dinyatakan oleh Nabi dalam kapasitas
beliau sebagai kepala Negara atau pemimpin masyarakat, seperti contoh di atas ,
cenderung dipahami secara kontekatual.
Oleh sebab itu,
dengan menghubungkan kandungan petunjuka hadis Nabi dengan funsgsi beliau
tatkala hadis itu terjadi, selain dimungkinkan, juga sangat membantu untuk
memahami kandungan petunjuk hadis Nabi secara benar. Hanya saja, usaha demikian
itu tidak mudah dilakukan dan tidak mudah disepakati oleh ulama[38].
Pada sisi lain, menghubungkan kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi
beliau tatkala hadis itu terjadi menunjuka bahwa tidak semua hadis Nabi dapat
dipahami secara tekstual, tetapi menghendaki pemahaman kontekstual. Itu berarti
bahwa kandungan hadis Nabi ada yang bersifat universal, temporal, dan atau
lokal[39].
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Al-Karim
Ahmad,
Arifuddin, Metodologi Pemahaman Hadis, Kajian Ilmu Ma’ani al-Hadis,
Alauddin University Press. 2012.
------------------------. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi:
Refleksi Pemikiran Pembaruan Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Jakarta:
Renaisan, April 2005. Cet. I.
Ismail, M.
Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’an al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Bulan Bintang,
Jakarta, Cet. 1, 1995.
--------------, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Bulan
Bintang: Jakarta, Indonesia, 1992.
Syaltut, Mahmud. al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah. Kairo: Dar
al-Qalam, 1966 M.
Al-Bukhariy,
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Mughirah bin Badizbah, al-Jami’
al-Shahih/Shahih al-Bukhariy, Dar al-Fikr, Beirut, tth, Juz I, IV, dan V.
Al-Qusayairi,
Abu Husain Muslim al-Hajjaj, Shahih al-Muslim, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
Beirut, Cet. II, 1970. Juz I, III, IV.
Ibnu
Madjah, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Madjah, Dar
al-Fikr, Beirut, tth, Juz I,II, III, dan V.
Ibnu
Hanbal, Abu Abdillah Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Maktab
al-Islami, Beirut, 1398 H/1973 M, Jilid Juz I, II, Jilid I, dan Juz IV.
Al-Nasa’I,
Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib, Sunan al-Nasa’I, Maktabah
al-Majmu’ah al-Islami, Cet. II, 1986, Juz III.
Ad-Darimi,
Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman, Sunan ad-Darimi, ttp. Dar Ihya
al-Sunnah al-Nabawiyyah. (tth). Juz II.
‘Ied,
Ibnu Daqiiqil, Syarah Hadis Arba’in, Pustaka at-Tibyan: Cet. X, Solo,
Juli 2013, hadis ke-9.
At-Turmudzi,
Abu Isa Muhammad bin Isa, Sunan al-Turmudzi, Dar al-Fikr, Beirut, 1400
H/1890 M, Juz II.
Abdullatif,
Abdul Mawjud Muhammad. Ilmu al-jarh wa Ta’dil: Penilaian Kredibilitas Para
Perawi dan Pengimplementasiaanya. Dzulhijjah 1423 H/ Februari 2003 M. Cet.
I.
Awwamah,
Muhammad. Hadis dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan di Kalangan Ulama Fiqih.
Alauddin Press University: Jalan Sultan Alauddin No. 36 Mkassar, 2013.
Terjemahan buku berbaha Arab yang berjudul “Atsar al-Hadits asy-Syarif fi
Ikhtilafil A’immat al-Fukaha’ Radhiya Allahu Anhum”, yang diterjemahlan
oleh Erwin Hafid, Lc., M. Th. I., M. Ed.
Qosim,
Ibnu, Pemahaman hadis Kontekstual (dalam blognya), diposkan pada minggu,
08 Juli 2012, diakses pada Sabtu, 16 Mei 2015.
M4n4n4.
Blogspot.com, Pemahaman Hadis secara Tekstual dan Kontekstual, diposkan
pada Minggu, 29 September 2013, diakses pada Sabtu, 16 Mei 2015.
Abdurrahman,
M. Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status
Hadis, Paramadina: Jakarta, 1999.
Suriasumantri,
Yuyun S., Filasafat ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar
Harapan, 1988, Cet. Ke-5.
Suparta,
Munzier. Ilmu hadis, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010. Cet. ke-6.
Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail
Ahmad. Studi Hadis: Ontologi, Epistemoloi, dan Aksiologi. Alauddin
University Press: Jalan Sultan Alauddin No. 63 Makassar, Cet I. 2011.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
Muhadjir, Noeng. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2004.
[1] Munzier
Suparta M. A., Ilmu Hadis (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Mei 2010.
Cet ke-6), hal 4.
[2] M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Bulan Bintang: Jakarta,
Indonesia, 1992), hal 3; M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad
al-Hakim dalam Menentukan Status Hadis (Paramadina: Jakarta, 1999), hal 3;
Abdul Mawjud Muhammad Abdulltif, Ilmu al-Jarh wa Ta’dil: Penilaian Kredibilitas
Para Perawi dan Pengimplementasiannya (Gema Media Pustakatama: Cet. I.
Dzulhijjah 1423 H/Februari 2003 M), hal 5.
[3] Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis Kajian Ilmu Ma’an al-Hadis (Alauddin Press:
Jl. Sultan Alauddin No. 63 Makassar, 2012), hal 1.
[4] M. Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’an al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Bulan Bintang:
Jakarta, 1994), hal 4
[5] Abustani Ilyas
dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemoloi, dan Aksiologi
(Alauddin University Press: Jalan Sultan Alauddin No. 63 Makassar, Cet I.
2011), hal 171.
[6]
Abustani Ilyas
dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemoloi, dan Aksiologi,
hal 172.
[7] Muhammad
Awwamah, Hadis dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan di Kalanga Ulama Fiqih
(Alauddin University Press, Cet I. 2013), hal 252-253. Buku ini diterjemahkan
dari buku berbahasa Arab yang berjudul “Atsar
al-Hadits asy-Syarif fi Ikhtilafil A’immat al-Fukaha’ Radhiya Allahu Anhum”
, penerjemahya adalah Erwin Hafid, Lc., M. Th. I., M. Ed.
[8]
Abustani Ilyas
dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemoloi, dan Aksiologi,
hal 206.
[9] Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal 458.
[10] Noeng
muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,
2004), hal 263-264.
[11]
Abustani Ilyas
dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemoloi, dan Aksiologi,
hal 207.
[12]
Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’an al-Hadis, hal 113.
[13] Yuyun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar
Harapan, 1988. Cet. Ke-5.), hal 10.
[14] . M.
Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis: Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan
Status Hadis, hal 2.
[15] Ibnu Qosim
blog, Pemahaman Hadis Kontekstual, diposkan pada Minggu, 08 Juli 2012,
tanggal akses Sabtu, 16 Mei 2015.
[16] M4n4n4.
Blogspot.com, Pemahaman Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual, diposkan
pada Minggu, 29 September 2013, diakses pada Sabtu, 16 Mei 2015.
[17] Mahmud
Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah (Kairo: Dar al-Qalam, 1966 M), hal
510.
[18] Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis Kajian Ilmu Ma’an al-Hadis, hal 1.
[19] Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhariy, Jami’ al-Sahih
(Dar al-Fikr, Beirut, tth, Juz v), hal
1949.
[20] Shahih
al-Bikhariy, Juz IV, hal 44, 45, dan lain-lain. Shahih Muslim, Juz
III, hal 1270 dan lain-lain. Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I, hal 375,
426, Juz II, hal 26.
[21] Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman hadis: Kajian Ilmu Ma’an al-hadis, hal 128,
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’an
al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, hal 37.
[22] Al-Bukhariy, al-Jami’
al-Shahih, Juz I, hal 70, Shahih Muslim, Juz I, hal 370-371, Musnad
Ahmad bin Hanbal, Jilid I, hal 301, hal 162, Sunan ad-Darimi, Juz
II, hal 224.
[23] Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan
Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, hal 79.
[24]
M. Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’an al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, hal 35.
[25] Shahih
al-Bukhariy, Juz IV, hal 239, 241, dan 242; Shahih Muslim, Juz III,
hal 1337-1338; Sunan at-Turmudzi, Juz II, hal 398; Sunan Ibnu Madjah,
Juz II, hal 777; dan Msnad Ahmad bin Hanbal, Juz III, hal 33, Juz V, hal
41 dan 454.
[26] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah
Ma’an al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal,
hal 44; Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman hadis: Kajian Ilmu Ma’an
al-hadis, hal 129
[27] Shahih
al-Bukhariy, Juz I, hal 380; Shahih Muslim, Juz IV, hal 2171; Sunan
al-Nasa’i, Juz III, hal 219; Sunan al-Tumudzi, Juz II, hal 268; Sunan
Ibnu Madjah, Juz I, hal 456; Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz IV, hal
251.
[28] Hadis tersebut
dapat dilihat secara lengkap oleh Ibnu Daqiiqil ‘Ied, Syarah Hadis Arba’in
(Pustaka at-Tibyan: Cet. X, Solo, Juli 2013, hadis ke-9, hal 72, namun hadis di
atas kata فافعلوا, dalam syarah adalah kata فأتوا.
[29] Al-Bukhariy, al-Jami’
al-Shahih, Juz I, hal 94; Shahih Muslim, Juz III, hal 1662; dan Musnad
Ahmad bin Hanbal, Jilid IV, hal 39-40.
[30]
Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan
Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail, hal 187.
[31]
Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis Kajian Ilmu Ma’an al-Hadis, hal 1.
[32]
M. Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’an al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, hal 40.
[33]Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman hadis: Kajian Ilmu Ma’an al-hadis, hal 183.
[34]Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman hadis: Kajian Ilmu Ma’an al-hadis, hal
183-184.
[35]M. Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’an al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, hal 40.
[36]
Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman hadis: Kajian Ilmu Ma’an al-hadis, hal 184.
[37]
Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman hadis: Kajian Ilmu Ma’an al-hadis, hal 184.
[38]
M. Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’an al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, hal 44; Arifuddin
Ahmad, Metodologi Pemahaman hadis: Kajian Ilmu Ma’an al-hadis, hal 129
[39] Arifuddin
Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi: Refleksi Pemikiran Pembaruan
Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail (Jakarta: Renaisan, April 2005. Cet. I),
hal 187.
Komentar
Posting Komentar